“Sincerity is not to say everything you think but to mean everything you say.”
Unknown
Matahari bersinar dengan indahnya walaupun pagi itu adalah pagi terakhir saya di China. Dari kejauhan saya melihat hamparan tanah luas berlapis-lapis dengan gradasi warna kombinasi yang tiada tara disapu oleh sang mentari.
Merah bata, hijau lumut, cokelat tanah dengan latar belakang barisan pegunungan layaknya pegunungan yang berwarna-warni. Tiba-tiba di balik keindahan tersebut mata saya menatap jauh dan mencoba merenung tentang diri sendiri.
Apakah saya bisa idealis dan tidak terpapar virus kapitalisme? Ada beberapa kejadian yang membuat saya bertanya lagi kepada diri sendiri karena memang saya sangat butuh input untuk self assesment.
Saya akhirnya menghubungi mentor saya. Ada perasaan sungkan awalnya karena saya sudah lama tidak berkomunikasi, jadi merasa malu. Tetapi atas saran salah satu teman akhirnya saya memberanikan diri. Apalagi ia berkata, “kan Mbak juga muridnya dan suka jujur kan beliau kalau kasih masukan yang membangun.”
Setelah mengumpulkan keberanian akhirnya saya bertanya via chat, karena mau bertanya langsung juga takutnya mengganggu waktunya sedangkan via chat bisa dibalas kapan saja beliau sempat.
Akhirnya minta input mengenai diri saya dan salah satu inputnya adalah mengenai ketulusan. “Tadi kamu berkata bahwa sering dan akan berbagi dengan teman-teman di luar negeri, misalnya group …. Ngapain juga secara spesifik disebutkan siapa saja mereka. Kamu kurang ketulusan,” kata beliau lewat tulisan yang saya baca berulang-ulang dan langsung saya screenshot untuk self reminder.
Tanpa membantah sedikitpun kalimat tersebut, saya resapi dan akui memang tidak sepantasnya menyebutkan kepada siapa saja saya berbagi ilmu secara spesifik. Jika ingin berbagi seharusnya berbagi saja.
Kembali ke hal ketulusan, saat saya mulai mencoba tidak lagi menjadi silent reader dan mulai bersuara di beberapa group business. Saya pun mencoba memberikan pendapat dengan share pengalaman saya.
Ketika membahas tentang dunia ekspor, saya berkata bahwa menurut saya salah satu pengalaman yang paling penting adalah sering mendatangi pameran luar negeri. Tidak sebagai exhibitor, tapi sebagai buyer. Saya juga mengajak jika ada yang ingin ikut meng-update mata mengenai trend dunia untuk pergi bersama.
Saat mengunjungi pameran internasional, kita bisa melihat langsung trend yang akan datang. Tidak heran jika di booth pameran tingkat dunia selalu ada larangan mengambil foto display mereka karena itu adalah ide yang belum muncul di pasaran.
Saya berkata kepada Chris, “Saya sudah mencoba tidak silent reader, tapi tidak ada respons. Padahal saya juga mengajaknya backpacker kok, jadi tidak mahal. Pengalaman mendatangi pameran international itu kan priceless.”
Chris tersenyum dan menjawab, “Bukankah kamu ingin tulus dan ikhlas? Masalah mereka merespons atau tidak, itu hak mereka. Kalau kamu masih sedih karena respons mereka, berarti kamu belum 100 persen ikhlas dalam berbagi ilmu.”
Saya langsung menyadari bahwa memang betul jika ikhlas tak perlu di gembor-gemborkan. Selain itu, jika berusaha share pengalaman, nothing to loose. Di situlah nilai ketulusan dinilai dan saya harus belajar banyak mengenai ketulusan.
Ketulusan adalah sesuatu yang sulit, sangat sulit dan walaupun kadang saya merasa sudah tulus dan ikhlas, tapi rasa sombong dan pamrih akan tetap datang menggoda kapan saja dan di mana saja.
Hati dan otak merupakan bagian dari organ tubuh manusia yang tak bisa dipisahkan. Namun, perlu digarisbawahi bahwa otak hanyalah sumber pengembangan ilmu karena semua itu bergantung dan bermuara pada hati.
Pusat ilmu adalah di hati bukan di otak. Otak saya tentunya akan digerakkan berdasarkan kata hati saya. Bagaimana memfungsikan hati dengan segenap rasa yang tulus perlu perjuangan khusus. Saya masih harus belajar banyak tentang konsep hati.
Terima kasih atas inputnya, dirimu adalah mentor terbaik, Mas.
Beliau tidak hanya mengajarkan, tapi juga mendidik baik dalam kata maupun dalam diamnya. Beliau memberikan ilmu bukan sebagai lahan bisnis, tapi sebagai lahan perjuangan melawan kapitalisme melalui generasi muda.
Mengajar hanyalah mengarah pada bagaimana membangun kecerdasan manusia secara intelektual, sedangkan apa yang beliau lakukan adalah mendidik kami semua.
Mendidik tentunya lebih condong pada proses bagaimana saya dan teman-teman semua berusaha mengubah diri menjadi manusia seutuhnya tidak hanya secara intelektual, tapi yang terpenting adalah secara moral. Bismillah.
“Ketahuilah, di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Apabila ia baik, maka baik pulalah seluruh tubuh. Dan apabila ia rusak, maka rusak pulalah seluruh tubuh. Ketahuilah itu adalah hati.”
- Bukhari dan Muslim
August 27th, 2018