Don’t cry because it’s over, smile because it happened
Dr Seuss
Semburat sinar jingga yang lembut masih terlihat di antara awan seputih salju yang membentang panjang di ufuk langit Eropa sore itu. Daun di pepohonan mulai berguguran dan berserakan di jalanan. Perpaduan daun Maple yang berwarna coklat, orange, dan kemerahan nampak berwarna keemasan ditimpa sinar mentari.
Saya mengamati daun-daun menjuntai yang siap luruh menunggu desiran angin yang tepat sebelum jatuh kembali ke pangkuan bumi. Rambut hitam saya yang panjang tersibak oleh semilir angin sepoi-sepoi. Sejuknya angin tersebut turut membelai dan menyapu lembut pipi.
Saya memejamkan mata sambil menghirup dalam-dalam wangi dedaunan yang sangat segar menyesak hingga ke tenggorokan. Perfect moment, tapi tetap ada desiran rindu yang membuncah dari dalam dada. Romantisme angin sore itu tak mampu menenteramkan hati.
Saya berlari kecil sepanjang jalan dari kampus menuju pulang dan tak lama terlihat gedung Parkinson Building yang megah. Sambil terus berlari kecil saya menyeberangi jalanan tepat di depan Parkinson Steps dan melewati restaurant India, Flames dengan aroma fried chicken-nya yang semerbak namun tak mampu memberhentikan langkah kaki saya.
Derap langkah saya makin cepat saat melewati jalanan kecil tepat di samping Flames dan setelah beberapa blok, akhirnya terlihat rumah berlantai tiga berdinding bata merah dengan pintu kayu berwarna merah. Saya segera membuka pintu rumah yang saya tinggali bersama tiga housemates saya dari Taiwan yaitu Ellen, Rinko, dan Irene.
Umur Rinko dan Ellen hanya berjarak beberapa tahun lebih tua dari saya dan Irene, namun karena sikap mereka yang jauh lebih dewasa dan sangat pintar memasak layaknya seorang ibu, sehingga “Ellen Mom” dan “Rinko Mom” adalah panggilan sayang kami untuk mereka. Saya dan Irene saling memanggil “Irene Sister” dan “Sarah Sister.”
“Rinkooooo, Rinko Mom,” suara saya langsung melengking membahana ke seluruh penjuru rumah saat membuka pintu. Saya berlari menapaki anak tangga satu demi satu menuju kamarnya yang terletak di lantai paling atas. Langkah kaki yang tergopoh-gopoh membuat suasana yang tadinya hening menjadi ramai. Saya segera memburu ke dalam kamarnya.
“Rinkoooooo, I am sooooo sad,” keluh saya sambil menggapai bantal besar di sudut kamarnya.
“Why? Are you okay?” Ia mencoba mencari wajah saya yang sudah terlanjur terbenam dalam bantal.
“Oh saya homesick, suasana musim gugur dengan daun yang berjatuhan membuat hati saya semakin mellow. Saya merindukan orang tua saya. I miss them, sooooooo much.”
Rinko lalu mulai bercerita tentang bagaimana dia juga mengalami homesick pertama kali dia dikirim ke Jepang untuk sekolah oleh orang tuanya, bahkan umurnya waktu itu masih sangat muda. Suaranya lembut dan intonasi yang tenang membuat saya tertarik mendengar kelanjutannya dan mulai mengintip dari balik bantal yang sedari tadi saya peluk. Terlihat wajahnya yang penuh kehangatan dan saya pun mulai tersenyum dan hati saya mulai tenang.
Sepenggal kisah manis dengan Rinko belasan tahun silam muncul kembali karena memori tersebut masih teringat jelas dalam ingatan saya. Semuanya berawal dari sebuah email dari Ellen. Setelah 6 bulan tidak aktif saya terkesiap ketika membuka inbox Facebook. Ada banyak sekali notifikasi, namun ada nama yang sudah belasan tahun saya cari, tapi telah lost contact.
“Ellen Mom,” jerit kegembiraan saya dalam hati berharap pandangan saya tidak salah. Saya click profil dan melihat lokasinya, Taipei, Taiwan. “Yep, that’s her.” Saya lalu membaca pesan dari Ellen, rasa bahagia yang membuncah langsung lenyap seketika dengan berita yang sangat mengagetkan.
Saya seakan terhantam palu godam yang melesat dengan dahsyat tanpa memberikan kesempatan untuk menghindar. Ellen mengabarkan bahwa Rinko telah pergi meninggalkan kami bertiga untuk selamanya.
Buliran air mata tak berhenti membanjiri pipi. Tak lama, saya membaca pesan dari Irene. Pesan yang sama membuat hati saya semakin hancur berkeping-keping.
Tak lama setelah itu, saya merenung dengan masih terisak dan terngiang kalimat yang diucapkan Rinko saat ia harus kembali ke negaranya belasan tahun silam, “Sarah, jika ada pertemuan, akan terciptalah kenangan. Jika momen pertemuan bertukar menjadi momen perpisahan, maka kenangan akan selalu bersemi dengan indah di dalam ingatan kita.”
Kini Rinko telah tiada. Selamat jalan, Rinko. Terima kasih atas segala kenangan indah yang telah kamu torehkan dalam hidup saya, terutama persahabatan yang pernah kita jalin.
“Life brings tears, smiles & memories. The tears dry, the smiles fade, but the memories last forever.”
Unknown
August 3rd, 2019