“Connections bloom where life slows down.”
Saya, Chris, dan Sophie berjalan perlahan di antara deretan pedagang yang sibuk menata dagangan. Udara hangat bercampur aroma daun pisang, kopi tubruk, dan gorengan yang baru diangkat dari minyak panas.
Seorang ibu tua menyapa ramah sambil menawarkan kue lapis dan lumpia basah yang masih mengepul. Sophie menunjuk ke arah meja, tapi ibu itu justru membungkus lumpia goreng.
“Ibu, maaf, saya mau yang dikukus, bukan yang digoreng. Yang ini juga satu, tapi yang itu tidak usah, terlalu banyak gulanya,” katanya cepat saat ibu itu memasukkan beberapa camilan yang diselimuti gula yang melimpah.
“Mama, do you want this fermented tape ketan? It’s your favorite, you always make it at home,” sambil menunjuk bungkusan kecil dari daun pisang. “Tolong, ini juga, Bu,” dan begitu saya mengangguk, wajahnya langsung berseri.
“Oh ngene toh, nduk,” si ibu tertawa kecil. “Ora doyan sing manis-manis karo gorengan, pantes ayune alami, mangane sehat kabeh. Pinter tenan, iso ngomong Indonesia lancar. Boso Jowo yo iso, ta?”
Sophie tersenyum, lalu menjelaskan bahwa waktu kecil ia diasuh oleh mbak Waty yang kampungnya tidak jauh dari desa ini dan setiap hari ia berbicara dengannya dalam bahasa Jawa. Mendengar itu, si ibu tertawa makin lepas.
Percakapan mereka berlanjut tentang alasan kami datang ke tempat yang jauh dari keramaian, tentang ikan laut segar hingga tentang surfing. Di desa kecil ini, ada ruang bagi tawa, cerita dan rasa akrab yang tumbuh cepat secara alami.
“The slower the day, the deeper the bond.”
Part 38.

