“Kindness moves in circles. Quiet, unseen, yet always returning in ways we least expect.”
Saya menatap cangkir di tangan, membiarkan hangatnya meresap di sela jemari. Di luar, gerimis meninggalkan jejak di kaca jendela seperti napas alam yang perlahan mereda. Hong menyesap tea-nya perlahan, lalu meletakkan cangkir dengan hati-hati.
“Kamu tahu,” katanya, tatapannya menerawang, “waktu pertama kali pindah ke ‘the toblerones’ ini, saya takut mengundang orang. Takut makanan saya tak cukup enak dan takut tempat ini terlalu sempit karena harus berbagi dengan student lain.”
Arsyl tertawa kecil, menyandarkan punggung ke kursi. “Tapi sekarang, dapur ini selalu penuh.” Hong tersenyum, mengangkat bahu ringan. “Pada akhirnya, saya sadar sesuatu. Orang tidak selalu datang karena makanan atau tempatnya. Kalian datang karena rasa diterima.”
Saya mengaduk minuman, memikirkan kata-katanya. “Dan saat kami pergi, kami sering meninggalkan sesuatu. Tidak selalu dalam bentuk benda, tapi cerita, kebersamaan. Kebaikan itu seperti lingkaran, tak pernah berhenti berputar, Hong.”
Hong menatap cangkirnya, suaranya lebih lembut. “That’s true, Sarah. Kindness is like giving without expecting anything in return. Somehow, it always finds its way back.”
“Kebaikan itu seperti benih,” saya berbisik lebih pada diri sendiri. “Kadang jatuh di tanah yang tak terduga, tapi jika waktunya tepat, ia akan tumbuh.” Arsyl mengangguk pelan. “Dan ketika ia tumbuh, ia tak hanya memberi satu daun, tapi cabang, bunga, dan mungkin, bayangan teduh bagi yang lain.”
Kebaikan memang selalu bergerak dalam lingkarannya sendiri. Dari dapur Hong yang dipenuhi aroma berbagi, hingga Arsyl yang dengan tenang membagi bukan hanya tanaman, tapi juga ilmunya. Saya menyadari satu hal, kebaikan tidak selalu datang dalam bentuk yang sama, tapi ia akan selalu kembali.
“Kindness moves in circles. Never lost, only carried from one heart to another.”
Part 12.