“To ride the wave, you must meet it with the right moment in your rhythm.”
Tak lama kemudian, coach surfing mendekat sambil melambai. Rambut coklat pirangnya masih basah oleh air laut dan surfing board-nya berkilau di bawah matahari yang mulai meninggi.
“Sophie, ombaknya mulai bagus sekarang,” katanya ringan. “Waktu yang pas untuk berlatih mengatur timing.” Sophie berdiri lalu menepuk-nepuk pasir dari kakinya. “Okay, a few more round,” ujarnya penuh semangat.
Saya memperhatikan bagaimana ia membawa board itu dengan langkah yang jauh lebih yakin dibanding pertama kali kami datang ke pantai ini, saat ia masih kecil.
Coach menunjuk ke arah laut. “Hari ini, focus pada membaca the face of the wave dan shoulder-nya, bukan melawan ombak. Setiap surfer perlu tahu kapan harus paddle, kapan menunggu dan kapan harus cut back.”
Ia menatap Sophie sejenak. “Ini bukan soal kekuatan tapi soal mengikuti rhythm ombak.” Sophie mengangguk, lalu berlari kecil ke arah ombak dengan surfing board di tangannya seolah menjadi perpanjangan dari tubuhnya sendiri.
Dari kejauhan, ia mencoba lagi dan lagi, jatuh, tertawa, lalu bangkit kembali. Saat akhirnya berhasil keluar dari gulungan ombak, menyeimbangkan tubuh di atas board dan menavigasi the face of the wave, saya bisa merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar pencapaian.
Itu adalah pelajaran tentang kepekaan terhadap moment, tentang merasakan setiap detik ombak dan mengetahui kapan harus melaju serta kapan membiarkan laut menuntun langkah.
“The ocean whispers: timing matters more than force.”
Part 35.

