“Resilience is the quiet strength that keeps you moving, even when everything inside you wants to stop.”
Sophie terdiam sejenak, matanya masih tertuju pada sehelai rumput yang digulung-gulung perlahan di jarinya. Tapi dalam diam itu, ada sesuatu yang bergerak. Mungkin sebuah tanya atau mungkin sebuah rasa yang belum punya nama.
“Mama,” katanya akhirnya, pelan dan dalam, “do you think ants ever fall?” Saya tersenyum, membayangkan barisan semut kecil yang berjalan tanpa henti, melewati dedaunan, melewati batu, kadang jatuh, tapi tetap melaju.
“Semut itu punya semacam super power, sayang… namanya resilience,” bisik saya sambil mengelus punggung tangannya yang masih menggenggam gulungan rumput. “Itu artinya mereka bisa bangkit lagi, meskipun jatuh atau tertahan. Meskipun kecil, semut tidak gampang menyerah.”
Saya menatapnya sebentar sebelum melanjutkan, membiarkan sejenak angin pagi mengisi ruang di antara kami. “Kalau semut jatuh, dia tidak akan menangis lama-lama. Kalau ada batu di depannya, dia tidak langsung mundur. Dia akan mencari jalan lain, atau memanjat perlahan.”
Saya menarik napas, lalu berkata lebih pelan, “Bukan karena dia tidak lelah… tapi karena dia tahu, kalau terlalu lama diam, dia bisa tertinggal.” Sophie menyelipkan rambut ke belakang telinganya, lalu bertanya dengan senyum kecil di ujung bibir, “So they don’t say, ‘Oh, I’m tired’?”
Saya tertawa pelan, menatap wajah kecilnya yang penuh rasa ingin tahu. “Tidak, mereka tidak bilang seperti itu. Mungkin mereka berhenti sebentar, menarik napas kecil, lalu jalan lagi… karena mereka tahu, satu langkah kecil tetap lebih baik daripada diam selamanya.”
Saya membiarkan kata-kata itu mengendap pelan, seperti embun yang belum jatuh, menggantung di antara pagi dan sunyi. Sophie menunduk kembali, menggulung rumput di jarinya, seakan sedang mencatat pelajaran yang tak tertulis di buku manapun.
“Resilience doesn’t shout. It whispers, ‘try again’ every time you fall.”
Part 15.

