“Some hearts speak in pauses and presence, not volume.”
Kami menyusuri jalan setapak keluar dari taman, lalu kembali masuk ke gedung utama. Melewati lobby hotel yang dingin dan ubin ditemani sisa lembap dari embun pagi yang menempel di ujung sepatu.
Kami berjalan memutar menuju area parkir yang terletak di belakang hotel. Begitu keluar dari pintu belakang, mobil sudah terlihat menunggu di kejauhan.
Chris duduk di kursi kemudi, sementara Nigel melongok dari jendela depan yang terbuka sedikit, lalu melambaikan tangan kecil. Chloe berjalan lebih dulu sambil membetulkan tali sandal jepitnya yang longgar.
Sophie mengikuti pelan di belakangnya, lalu berkata dengan tawa setengah tertahan, “Zus Chloe, why were you smiling like that?” Chloe menunduk sejenak, “I’m not sure. I just liked it… sitting there quiet.”
Sophie mengangguk pelan. “Same. We don’t talk, but it still feels like something.” Kami pun berjalan lebih pelan. Jalan ke parkiran tak begitu jauh, tapi rasanya mereka belum benar-benar ingin meninggalkan moment tadi.
Pagi tadi mereka mengayun dalam diam, kini mereka berbagi dalam kata, namun keduanya sama berharganya.
Diam pun bisa jadi bahasa. Diam yang hadir, bukan karena tak tahu apa yang harus dikatakan, tapi karena tahu bahwa hadir itu sendiri sudah cukup.
“There are sentences written only in silence.”
Part 5.

