“The palest ink is better than the best memory.” – Chinese proverb
Angin siang masih membawa aroma asin laut ke beranda tempat kami duduk. Suara debur ombak terdengar samar, berpadu dengan obrolan ringan yang perlahan tumbuh menjadi rasa ingin tahu.
Saya menoleh ke perempuan itu dengan penasaran. “Research diver itu apa sebenarnya, tentunya beda dengan fun dive yah?”
Ia tersenyum tipis, seakan senang saya menanyakan hal yang sudah menjadi bagian dari kesehariannya. “Mereka menyelam bukan sekadar untuk bersenang-senang.”
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Mereka turun ke dasar laut sambil membawa underwater slates, alat ukur, dan camera. Setiap detail dicatat, mulai dari gerakan ikan, pertumbuhan karang hingga perubahan suhu air.”
“Oh, jadi semua data itu untuk memahami ecosystem laut lebih dalam ya?” saya menimpali, membayangkan mereka menyelam sambil mengamati kehidupan laut tanpa mengganggunya, dengan setiap gerakan diperhatikan penuh kesabaran.
“Jadi mereka seperti peneliti di bawah laut dengan membawa slatesnya?” saya bertanya lagi. Ia mengangguk pelan dan tatapan matanya seakan bercerita bahwa laut bagi mereka bukan sekadar playground, melainkan laboratorium alami.
Di situ saya menyadari, seperti para penyelam yang menuliskan catatan di papan kecilnya, kita pun menulis makna hidup di “slates” masing-masing. Kadang berupa tulisan di kertas dan kadang terpatri diam-diam di dalam hati.
“We write to taste life twice, in the moment and in retrospect.” – Anaïs Nin
Part 32.