“A mother may not walk beside us, but she lives in the way we move through the world.”
Keheningan sejenak mengisi ruang, membiarkan kata-kata mereka berputar di kepala, beriak pelan seperti lingkaran kecil di permukaan tea yang tersisa di gelas. Di luar, matahari mulai condong, menyorotkan bayangan lembut di meja kayu yang telah lama menjadi saksi pagi ini.
Uap tipis masih melayang di atas cangkir, samar namun nyata. Saya menarik napas perlahan, membiarkan keheningan berbicara. Di dalamnya, sesuatu meresap pelan yaitu pemahaman yang mungkin selama ini tak pernah benar-benar tersadari.
Bukankah kasih seorang ibu memang begitu? Tidak selalu hadir dalam bentuk yang terlihat, tapi menetap dalam hal-hal kecil dan dalam kebiasaan yang diteruskan tanpa sadar.
Saya teringat my morning routine yang selalu dimulai dengan secangkir tea, seperti kebiasaan mama. Tanpa berpikir, saya selalu memastikan lampu teras menyala sebelum malam tiba, sesuatu yang dulu mama lakukan setiap sore, yang kini menjadi bagian dari diri saya tanpa saya sadari.
Ternyata, kehadiran seorang ibu tidak hanya ada dalam photo atau suara yang menyapa dari ujung telephone. Ia ada dalam cara saya menjalani hari, dalam gerakan kecil yang tumbuh bersama saya hingga dalam kebiasaan yang terasa begitu biasa, tapi sesungguhnya penuh makna.
Saya menyesap sisa tea di gelas walaupun sudah dingin, tapi tetap membawa ketenangan. Di luar, angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah sisa gerimis. Saya tersenyum sendiri, merasakan sesuatu yang hangat mengisi dada.
Hari ini, saya memahami satu hal bahwa cinta seorang ibu tidak selalu berada dalam genggaman, tapi selalu menetap dalam jejak yang tak pernah benar-benar hilang.
“A mother’s touch may fade from the skin, but it lingers in the heart, woven into every quiet ritual she left behind.”
Part 16.