“What is written today may return tomorrow as gentle guidance.”
Siang itu saat berada di beranda kayu di atas tebing, angin membawa aroma laut dan ombak yang pecah di kejauhan memberi jeda pada percakapan. Dalam keheningan yang tersisa, saya seperti dipanggil untuk menengok ke dalam diri.
Saya tersadar bahwa journaling bukan hanya menulis sekumpulan kenangan, melainkan juga sebuah cermin. Saat membacanya kembali, saya tidak hanya melihat moment, tetapi juga bagaimana merasakan dan memberi makna padanya.
Dari mencatat hal yang sederhana, seperti percakapan singkat dengan orang asing, saya belajar bahwa hidup bukanlah semata tentang berlari mengejar hal yang besar, melainkan tentang hadir sepenuhnya pada hal yang kecil.
Mungkin itulah sebabnya saya tidak ingin membiarkan detail-detail kecil lewat begitu saja. Mereka bukan sekadar serpihan, melainkan potongan utuh dari pelajaran hidup yang bisa dipetik.
Menuliskannya di “slate” adalah cara untuk mengingat bahwa bahkan keheningan pun punya suara dan moment paling singkat pun dapat menahan diri agar tidak hanyut.
Setiap hembusan percakapan dan setiap ekspresi wajah, bersama pecahan ombak di hadapan saya siang itu, menjadi catatan yang tidak lagi ingin saya abaikan dan perlu saya dokumentasikan.
Sebab pada akhirnya, kita tidak pernah benar-benar menulis untuk sekadar mengingat masa lalu, melainkan untuk menjangkar diri agar tidak terbawa arus yang terus bergerak di masa sekarang.
“Journaling shapes fleeting winds into wisdom that stays.”
Part 34.