“A child’s sense of the world is drawn from the soft lines of daily tenderness.”
Sesampai di apartment, saya membuka pintu pelan. Chloe masuk lebih dulu, meletakkan Thai tea yang tinggal sedikit di meja kecil dekat jendela. Ia melepas sepatunya, menggulung jacketnya, lalu menatanya rapi di tempat biasa.
Dengan langkah kecil, ia menyalakan lampu balkon yang masih gelap, lalu menutup tirai jendela yang terbuka separuh. Tak lama, ia memeriksa isi kettle, menambahkan air, dan menyalakannya. Kemudian ia menuju dapur, mengambil gelas, dan memasukkan chamomile tea ke dalamnya untuk diseduh.
Saya memerhatikannya dalam diam. Gerak-geriknya cepat, ringan, tapi teratur. Ada ketenangan dalam caranya mengatur barang, seakan pengalaman dari perjalanan-perjalanan sebelumnya sudah tertanam dalam ingatannya seperti catatan tugas yang tak perlu diucapkan.
“Sudah bisa atur semuanya sendiri, ya sayang?” tanya saya pelan, duduk di pinggir tempat tidur. Chloe menoleh dan tersenyum. “I just watch you every time we travel, Mama. That’s how I remember.”
Saya terdiam. Jawabannya sederhana, tapi menggurat dalam. Anak kecil yang dulu selalu menarik ujung lengan baju saya saat takut, kini mulai berdiri mandiri. Bukan karena tak butuh saya, tapi karena ia telah cukup belajar untuk percaya pada dirinya sendiri.
“Bagus sekali,” dengan suara nyaris bergetar. “Tapi kalau Chloe capek, bingung, atau butuh bantuan, langsung bilang ke Mama. Mandiri itu bukan berarti harus selalu sendiri.” Ia mendekat dan duduk di samping saya.
“I know, Mama. I don’t have to do everything by myself. I can try, and if it’s too hard, I can ask you. I like learning how to do things, but I still want you near.”Saya mengangguk pelan, menatap wajahnya. Ada rasa haru, bangga, dan syukur yang tak bisa saya susun dalam kata.
“A child carries with them not the loudest lessons, but the gentle ones repeated without needing words.”
Part 34.