“Laughter is the shortest distance between two people.” – Victor Borge
Tak jauh dari tempat kami duduk menikmati legen, pandangan saya tertahan pada deretan daun kering yang tergantung di bawah atap rumah kayu itu. Satu per satu digabung pada tali bambu dan bergoyang pelan tertiup angin siang.
“This view reminds me of how you always hang things back home, mama,from that Korean meju to Mongolian borts, all air-curing in the kitchen,” ujar Sophie sambil tertawa kecil, matanya setengah terpejam tertimpa cahaya lembut.
“It’s like your version of a dream catcher and I guess this is theirs too.” lanjutnya sambil tersenyum dan menunjuk ke daun-daun kering yang menguning di atas kepala kami.
“Itu daun embako, nduk,” ujar ibu itu sambil tersenyum, seolah mengerti arah pembicaraan kami. Saya menatap Sophie sambil berbisik, “Embako itu apa, sayang?” “I think it’s tobacco, mama.”
“Ooo tembakau… Tidak sia-sia Mbak Waty jadi nanny Sophie sejak kecil, sekarang bisa jadi translator mama di sini,” saya tertawa kecil.
Ibu itu ikut tersenyum lalu melanjutkan, “Jenenge embako krosok. Sakwise dijemur neng ngisor srengenge, ora dirajang, langsung ditancep nganggo bambu kaya ngene iki, terus dikeringke nganggo angin pirang-pirang dina.”
“Oh itu tembakau krosok, mama.” “Cuma itu artinya? Ibunya kan ngomong panjang lebar.” saya tertawa kecil, disambut tawa ibu itu. Angin siang berembus membawa suara tawa kami yang seringan daun yang bergoyang di atas kepala.
“Even when our words differ, laughter still speaks the same language.”
Part 44.

