“Purpose doesn’t wait for applause. It keeps moving, quietly and sure.”
Sophie masih diam di samping saya, lututnya terlipat rapat, dagunya bertumpu di tangan mungilnya. Kami belum beranjak. Angin pagi kini membawa aroma roti dari warung tenda di sekitar, tapi wangi itu tak memecah kesunyian kecil yang sedang kami huni bersama semut itu.
“Mama,” ucapnya perlahan, masih menatap tanah, “do you think the ant knows someone is watching?” Saya tersenyum, lalu menggeleng pelan. “Mungkin tidak. Tapi itu tidak mengubah jalannya. Ia tetap berjalan, tetap berusaha, meski tak ada yang melihat.”
Sophie mengangguk, lalu berbisik, “So… we don’t have to be seen to matter?” Saya menatapnya, lalu menyeka anak rambut yang jatuh ke keningnya, jari saya pelan seperti menenun angin.
“Iya, sayang. Banyak hal yang paling berharga justru lahir dalam diam. Tidak semua yang berarti butuh sorotan,” suara saya nyaris tenggelam dalam hembusan pagi.
“Kadang yang paling kuat… justru berjalan tanpa tepuk tangan, tanpa panggung, tapi tetap membawa sesuatu yang penting.” Saya melanjutkan, lalu menatap semut itu bersamanya, seolah memberi ruang bagi keheningan untuk ikut bicara.
Ia menarik napas kecil, lalu menatap semut itu sekali lagi dengan mata yang tak lagi sekadar penasaran. “Then I want to be strong like that,” katanya pelan. “Even when no one sees.” Saya hanya memeluknya pelan dari samping.
Di bawah langit pagi yang mulai biru, keheningan terasa penuh makna. Tak ada sorotan, tak ada gemuruh, hanya langkah kecil yang tetap setia pada tujuannya. Ketulusan tak butuh panggung, ia hanya perlu alasan untuk tetap berjalan.
“We are not always meant to be noticed, but we are always meant to matter. Even the smallest heart knows this.”
Part 11.