“Do not feign a joy which you do not feel.” Seneca
Di tengah suara klakson yang jauh dan lampu-lampu yang bersilangan, ada kejujuran yang tenang dalam caranya bercerita. Bukan keresahan atau pun keluhan.
Lebih seperti seseorang yang sudah lama belajar berdiri di tengah hari-hari yang berat, tanpa perlu berpura-pura kuat. Saya diam sejenak, menyerap kata-katanya. “And you face it as it comes?”
“I call it what it is” jawabnya. “If I lie to myself, then the day feels heavier. If I say, yes, today is hard, then I just take it as it comes. One passenger at a time, one street at a time.”
Ia mengangkat sudut bibirnya sedikit, hampir seperti senyum yang lahir dari pengertian, bukan karena kewajiban. “I am not trying to change the feeling. I am also not trying to dress it up. Just honest.”
Di luar, malam semakin pekat. Gedung-gedung melintas perlahan, seolah ikut berjalan bersama mobil. Cahaya lampu jalan menyapu kaca depan, membentuk garis-garis lembut yang bergerak seperti arus air.
Dalam penjelasannya yang detail, saya sadar bahwa kadang kejujuran pada diri sendiri untuk mengakui tentang apa yang kita rasakan sudah lebih dari cukup.
Tidak perlu sugar coating dan tidak perlu penjelasan panjang, cukup berdiri di sana, hadir dan mengakuinya, seberat atau sesulit apapun perasaan saat itu.
“Speak your morning plainly and the day bends gently.”
Part 30.

