“The more we cherish what remains, the lighter the weight of what is gone.”
Saya menatap uap tipis yang masih naik perlahan dari cangkir kopi di atas meja, seakan ikut menari bersama kabut yang turun dari bukit.
Chloe kini menyandarkan kepalanya di kursi, Sophie menggoyang-goyangkan kakinya pelan, sementara Nigel memainkan potongan pisang goreng terakhirnya dengan garpu, belum juga selesai menyantapnya.
Suasana meja itu terasa tenang, seolah waktu sengaja berjalan lebih lambat di daerah pegunungan seperti ini.
Bapak itu mengisi ulang kotak tissue di meja yang hampir kosong, lalu berkata dengan suara yang lebih lembut, “Hasil panen dan curah hujan bisa berubah. Tetapi ada satu hal yang membuat hidup tetap berarti, yaitu rasa syukur.”
Saya mengangguk perlahan dan membenarkan kata-katanya. Jika kita hanya menghitung apa yang hilang, hidup akan terasa sempit.
Namun ketika kita menghitung apa yang masih tinggal, kita akan menemukan bahwa hati tetap penuh kelimpahan. Saya terdiam, membiarkan kalimat itu bergaung dalam diri saya.
Di balik aroma kopi hitam dan pisang goreng yang masih terasa hangat, saya mengerti bahwa hidup tidak selalu memberi sesuai yang kita harapkan. Namun selalu ada yang bisa kita syukuri, sekecil apa pun itu.
“In gratitude, even the smallest light becomes a sunrise.”
Part 15.