“In each quiet act, love leaves behind a trace that softly stays.”
Pagi merambat pelan saat saya dan Chloe tiba di booth. Mbak Patsy sudah ada di sana lebih dulu, sedikit membungkuk, menata kalung-kalung mutiara di atas kain beludru. Jemarinya cekatan, tapi matanya sempat melirik ke arah kami dan memberi senyum hangat.
Saya membuka koper kecil yang tadi ditarik Chloe. Di dalamnya, kettle mungil kesayangan terbungkus kain, bersama beberapa kantong tea pilihan: chamomile, mint, rosella, dan tentu saja rooibos.
Chloe mengeluarkan nasi kerabu yang kami beli pagi tadi dari kios kecil di sudut jalan. Warnanya biru keunguan, seperti warna langit yang diteteskan ke atas piring karena nasinya dimasak dengan bunga telang. Ada buncis, katuk, daun pegagan, sambal kelapa, dan serundeng yang harum.
Menjelang siang, saya membeli salad ala Hat Yai, dihiasi daun-daun segar, beberapa edible flower, dan tentu saja kelopak bunga telang. Chloe menatap piring saya sambil mengerutkan dahi.
“Mama sekarang makan bunga juga?” tanyanya, separuh kagum, separuh geli. Mbak Patsy terkekeh sambil menata cincin-cincin peraknya. “Iya, mama kamu makan bunga seperti Suzanna.”
“Siapa itu, Tante?” Chloe menoleh, matanya masih menatap saya yang tenang menikmati suapan lalapan itu. “Oh, bintang film zaman dulu. Suka makan bunga juga, tapi bunganya beda,” jawab Mbak Patsy sambil tersenyum.
Oh well, terkadang, cinta tak datang dengan sorak-sorai. Ia menyelinap lewat langkah-langkah kecil, uap tea yang pelan naik di pagi yang tenang, dan kelopak bunga telang di atas piring kertas. Ia bertahan lebih lama dalam hal-hal yang sederhana.
“Love slips in quietly, and finds home in the gentleness of small things.”
Part 36.