“Some journeys aren’t measured by how smooth the path is, but by how gently we carry the broken parts along the way.”
Setelah telepon dari Mbak Patsy berakhir, saya masih duduk diam dengan senyum yang belum benar-benar reda. Di layar, panggilan telah usai, tapi suaranya yang penuh tawa masih tersisa di udara.
Suara tawa yang seperti uap tea yang baru diseduh, terasa hangat, ringan, dan tinggal lebih lama dari yang disangka. Chloe dan Sophie duduk tak jauh dari saya, saling melepas rindu setelah beberapa hari terpisah.
Mereka bersandar di bahu saya, diam-diam tahu bahwa esok pagi saya harus berangkat lagi ke Manila. Tak banyak kata, hanya genggaman kecil di lengan dan kepala yang disandarkan lebih dekat, seolah ingin menyimpan waktu lebih lama dalam keheningan yang hangat.
Hari itu berjalan tenang, tapi pikiran saya masih tertambat pada koper ungu yang terus melaju ke Filipina, meski kini makin pincang.
Mungkin hidup pun begitu. Kita memulai perjalanan dengan perlengkapan yang utuh, tapi di sepanjang jalan, ada yang akan hilang, goyah, atau retak. Namun kehilangan bukanlah alasan untuk berhenti.
Yang membuat kita tetap melangkah bukanlah kesempurnaan, melainkan keberanian untuk terus maju dengan apa yang tersisa.
Ternyata ketidaksempurnaan tak selalu berarti kurang. Kadang, ia hanya ingin menguji apakah kita tetap bersedia berjalan, meski satu roda hilang, asal hati kita tidak ikut patah.
“What’s missing doesn’t end the journey. It simply changes the way we move forward.”
Part 42.

