“Sometimes, what starts as a fleeting desire turns into something essential when the time comes.”
Malam itu, Lia kembali ke hotel dengan teko dari toko souvenir yang tidak jauh dari tempat kami menginap. Saya duduk memandang benda yang sebelumnya sengaja saya taruh kembali ke rak, dengan senyum perlahan tersungging di bibir.
Lima belas menit yang lalu, teko kecil ini hanya tampak sebagai keinginan sesaat namun kini, semuanya terasa berbeda. Saat pertama kali melihatnya, saya tertarik oleh bentuknya yang imut dengan garis biru lembut melingkari permukaannya.
Seperti banyak benda lain yang saya temui saat traveling, mereka hanya menarik perhatian sesaat, dan akhirnya bisa dilupakan tanpa rasa kehilangan. Hanya keinginan sekejap untuk memilikinya.
Namun, ketika Lia memberikan teko tersebut malam itu, saya sadar bahwa keputusan untuk tidak membelinya saat itu justru membawa pelajaran yang lebih dalam.
Teko ini bukan sekadar tentang keindahan bentuknya. Seiring waktu, ia berubah menjadi sebuah kebutuhan, bukan hanya keinginan. Sebuah wadah untuk menyeduh tea hangat yang tak hanya akan dipakai malam itu, tapi juga saya bawa ke booth selama di Phnom Penh
Keinginan yang datang tanpa aba-aba sering kali berwujud keindahan atau sesuatu yang menggiurkan, sementara kebutuhan muncul perlahan, mengingatkan bahwa ada hal yang tak bisa diabaikan.
Saya kembali menatap teko tersebut dan semakin memahami perbedaan antara keinginan dan kebutuhan. Keinginan berkilau sesaat lalu memudar, sementara kebutuhan tumbuh seiring waktu, mengungkap nilai yang sebelumnya tak disadari.
“It’s not the beauty of an object that makes it meaningful. It’s the way it becomes essential when we least expect it.”
Part 2.

