“Smiles don’t ask for passports. They cross quietly, heart to heart.”
Chloe menyandarkan kepala ke jendela, matanya mengikuti guratan debu yang tertinggal setelah hujan pagi tadi, seperti jejak yang tak sempat terhapus dan menggurat acak di permukaan kaca.
Mobil mulai melaju kembali, perlahan meninggalkan tempat tersebut. “How come all the smiley faces smile the same way?” Chloe menoleh ke Sophie sambil tersenyum kecil, seolah pertanyaannya bukan untuk dijawab, tapi untuk dibagi.
Sophie mengangkat bahu. “I don’t know… I’ve just always liked drawing them like that. Maybe because the smiles always look the same everywhere.”
Chloe mengangguk pelan. “Yeah… a smile is the most universal language.” Sophie tertawa kecil, lalu kembali memandang keluar jendela.
Kami terdiam bersama dan dalam keheningan itu dan merasakan bahwa anak-anak memang tumbuh. Tubuh mereka makin tinggi dan cara bicara mereka pun perlahan berubah, kini lebih terarah dan penuh pertimbangan.
Namun di tengah semua perubahan itu, ada sesuatu yang tetap tinggal. Senyum mereka, yang muncul tanpa rencana, yang lahir tanpa perlu alasan besar dan mereka berikan tanpa syarat dan tanpa dibuat-buat.
Saya percaya, bagian itu adalah yang paling berharga karena senyum tak pernah membutuhkan penjelasan. Ia hanya muncul dan menghubungkan satu hati ke hati lain, tanpa harus tahu bahasa apa yang digunakan.
“A smile is the same in every mirror, no matter where the face was born.”
Part 13.

