“The art of letting go is painted in the colors of peace, not in the shadows of revenge.”
Pagi beranjak pelan, membiarkan cahaya mentari merambat masuk di antara celah jendela. Aroma kopi dan tea masih mengudara berpadu dengan gelak tawa yang membahana. Saya masih duduk di sana, membiarkan percakapan mereka mengalir seperti riak kecil di permukaan teh tarik yang hangat.
Wanita berkerudung kuning itu mengaduk minumannya perlahan, seakan ingin menyaring sesuatu yang lebih dari sekadar gumpalan susu di dasar gelas. “Kadang, orang macam itu buat kita sakit hati,” katanya akhirnya, suaranya tetap lembut. “Tapi kalau kita balas, apa beza kita dengan mereka?”
Wanita berkerudung biru tersenyum kecil, menyesap tea-nya perlahan. “Dulu, kita pun pernah begitu, kan? Rasa ingin membalas, rasa ingin orang faham sakitnya hati kita. Tapi semakin tua, kita sedar, tak semua benda perlu dijawab dengan meninggikan suara.”
Yang satunya mengangguk, menurunkan pandangan ke pergelangan tangan, memperhatikan kilau gelang emas yang melingkar di sana. “Ada hal yang lebih berharga untuk kita simpan dalam hati selain anger, like a lion,” katanya, lalu tiba-tiba mengaum kecil dengan wajah jenaka.
Gelak tawa pun pecah, memenuhi sudut meja yang tadinya diwarnai perbincangan serious. Saya tak bisa menahan tawa, ikut larut dalam canda mereka, seakan menonton pertunjukan comedy yang lahir begitu saja, tanpa perlu dibuat-buat.
Saya membiarkan kata-kata mereka meresap, seperti hujan tipis yang jatuh ke tanah setelah lama tak tersentuh gerimis. Betapa seringnya kita mengira bahwa membalas akan memberi kelegaan, padahal justru melepaskanlah yang membawa ketenangan.
Oh well, pada akhirnya, balasan terbaik bukan selalu dengan kata-kata atau tindakan, tetapi kedewasaan untuk melangkah tanpa membawa beban di hati.
“Fire may burn your enemy, but the smoke will choke you too.”
Part 6.

