“Every syllable is an arrow. Its direction and sharpness are yours to choose before you let it fly.”
Di sudut paling belakang toko, suara ibu itu masih jelas terdengar seperti menyayat udara yang dingin. Sophie sempat menoleh dengan mata membulat dan bibir terkatup rapat.
Chloe berdiri sedikit kaku di sampingnya, jemarinya menyentuh ujung rak, seolah mencari pegangan. Nada nyaring penuh amarah itu merambat hingga ke telinga kami.
Ada bahasa diam yang mengalir di antara kami sehingga cukup satu tatapan untuk tahu bahwa kata-kata itu memekakkan telinga. Saya menunduk, pura-pura memeriksa botol air mineral di rak.
Namun gema suaranya terus berputar di kepala. Akhirnya saya bisa menangkap pembicaraan kalau ia memprotes kalau susu yang dibeli kemarin sudah expired, tapi masih saja dijual. Saya paham, ia hanya ingin jujur tentang kekecewaannya.
Tapi cara penyampaian, waktu dan tempat ia memilih pastinya melukai hati pegawai toko tersebut. Saya kembali menatap Sophie dan Chloe dan wajah mereka masih menyimpan ketegangan yang sama.
Ternyata, bukan hanya isi kalimat yang penting, tapi juga cara kita mengucapkannya, kapan kita melepaskannya, dan bobot yang kita biarkan jatuh ke udara.
Di antara rak-rak toko, pelajaran itu menempel erat. Sekali suara diluncurkan, ia akan menetap di telinga dan di ingatan, entah sebagai pelukan hangat atau goresan tajam.
“Once a word takes flight, it cannot be called back. Its weight and tone are the wings you chose for it.”
Part 18.

