“Marriage is like watching the color of leaves in the fall; ever changing and more stunningly beautiful with each passing day.”
Fawn Weaver
Saigon yang setelah perang Vietnam usai telah berganti nama menjadi Ho Chi Minh City merupakan kota terbesar di Vietnam, bahkan lebih terkenal daripada Hanoi yang merupakan ibukota dari negara tersebut.
Saya, mbak Yovi dan anaknya yang bernama Ajeng tak pernah luput menikmati hingar bingar suasana malam hari ditemani wangi kopi Vietnam yang semerbak di setiap sudut cafe sepanjang jalan. Suasana malam semakin sempurna dengan pancaran kerlap-kerlip lampu dan cahaya temaram rembulan yang nyaris paripurna tatanannya.
Hotel kami terletak di Distrik 1 ,daerah paling padat dan merupakan jantung kota. Hanya walking distance ke Saigon Square , surganya belanja dan hanya beberapa langkah dari KFC restaurant.
Hampir tiap malam kami mampir membeli egg tart. Kue pengantar tidur sebelum akhirnya terlena hingga mentari pagi menjemput untuk bersiap berangkat ke tradeshow.
Ho Chi Minh terkenal dengan julukan ‘Motorbike Capital of the World’ karena sekitar 90 persen pengguna jalan adalah pengendara sepeda motor. Kumpulan motor tersebut menguasai hampir seluruh sudut jalan raya hingga lorong sempit pasar tradisional. Jalanan terlihat seperti lautan yang didominasi oleh pengendara motor dengan masker yang menutupi setengah wajah mereka diatas Honda scooter.
Para pengendara motor bertingkah seperti raja jalanan, tidak memberi celah satu centimeter pun untuk penyeberang jalan. Sungguh mencekam jika harus berjalan kaki apalagi menyeberang jalan.
Mereka tidak pernah mau menginjak pedal rem untuk memberikan kesempatan bagi yang ingin menyeberang. Jika ada yang tetap nekat menyeberang maka motor-motor tetap melibas jalanan dan tanpa peduli meliuk secara cepat ke segala arah dari para penyeberang jalan.
Malam itu dengan mata masih berselimut kantuk karena telah seharian di venue pameran, kami berjalan keluar dari hotel untuk mencari tempat untuk makan malam.
Di perjalanan, terlihat kepulan asap menutupi jarak pandang dan suara knalpot yang menderu-deru tidak sabar menunggu lampu hijau menyala sungguh memekakkan telinga. Setelah beberapa kali menyeberang ditemani doa yang panjang agar tidak tertabrak, kami meneruskan perjalanan.
Ketika menyeberang di traffic light berikutnya, bunyi klakson semakin menggelegar dari paduan suara motor-motor dan menyerbu langsung ke gendang telinga. Kami tetap berlari kecil sambil saya sesekali berteriak, “Aduh berisik, mas. Tidak sabar sekali.”
Daun telinga dan jantung terasa jatuh berhamburan secara bersamaan didalam suasana kacau balau menyeberang seperti ini . Sandal sebelah kiri Ajeng terlepas di tengah jalan dan baru disadari disaat kami sudah berada di seberang jalanan.
Tanpa pikir panjang sambil bergumam kecil “bismillah”, saya langsung balik badan memasuki kerumunan motor yang semakin mengganas. Tanpa peduli, mata tertuju ke jalanan dan mencari sandal tersebut. Kisah Cinderella yang sepatu kacanya tertinggal sebelah di tangga, bisa terjadi di dunia nyata. Akhirnya sandalnya ketemu.
Saya membungkuk dan menyambar secepat kilat sebelum motor berhamburan mencoba menerabas dan menggilas sandal dan tangan mungil saya. Dari seberang terdengar mbak Yovi berteriak , “Sarah , tidak usah” dengan nada penuh khawatir.
Saya menggenggam sandal Ajeng dan mencoba berlari kembali ke arah mereka . Di moment itu saya seakan menjadi Jonah Lomuh ,pemain rugby dari New Zealand, sang idola yang sempat bertemu di Manchester belasan tahun silam.
Sandal masih dalam genggaman layaknya bola rugby, berlari secepat mungkin menerobos rintangan motor dari segala arah dan rentetan klakson yang membahana memekikkan telinga.
Akhirnya berhasil ke seberang dengan selamat. Terlihat kilatan mata Ajeng berbinar dan senyum tak henti menghiasi wajahnya karena seakan saya telah mengembalikan sepatu kaca miliknya.
Kala itu, terdapat one missing piece untuk melengkapi puzzle, yaitu belum tiba seorang prince yang akan memasangkan sepatu kaca dan meminang dengan sepenuh jiwanya.
Missing piece saat itu telah complete, kini permaisuri cantik yang kelembutannya adalah duplicate dari mbak Yovi, telah menemukan pangeran sang pujaan hatinya.
Dear Ajeng, besok adalah hari pernikahan kamu, may both of you stay together, be in love this way forever.
Dear mbak Yovi, it is an expensive moment for you that you have cherished for so long, she is going to tie the knot with the person she loves the most. Enjoy the moment and the emotions. Congratulation.
“When you realize you want to spend the rest of your life with somebody, you want the rest of your life to start as soon as possible.” When Harry Met Sally
January 20th, 2022