“Sometimes, the smallest space we create for others holds the deepest significance.”
Keheningan merayap di antara kami tapi bukan sebagai jeda yang canggung. Uap terakhir dari tea mengepul tipis, seakan ikut melebur dalam percakapan yang tak lagi hanya tentang makanan, tapi tentang sesuatu yang lebih luas yaitu tentang cara kita memperlakukan satu sama lain.
Hong menggeser sumpitnya ke tepi piring, lalu berkata perlahan, “Kadang, menghormati seseorang bukan soal setuju atau tidak. Hanya soal memberi ruang, supaya mereka bisa menjadi diri sendiri tanpa merasa harus menjelaskan.”
Arsyl mengangguk, jemarinya masih mengelilingi cangkirnya yang mulai mendingin. “Mungkin karena itu, saya akan sering kembali ke dapur ini karena di sini, saya tidak harus menjadi sesuatu yang lebih dari diri saya sendiri.”
Saya tersenyum kecil, mengerti maksudnya. Ada tempat-tempat yang tak hanya menerima keberadaan kita, tetapi juga membiarkannya berkembang tanpa syarat. “Sama seperti kamu memberi makan kepada para squirrels, sahabat kamu di Whitworth Park, kamu membuatnya terlihat, Arsyl.”
Arsyl tertawa pelan, kali ini tanpa ragu. “Mungkin saya tidak banyak bicara dulu, tapi saya selalu ingin mereka tahu kalau mereka ada.” Ia mengaduk sisa teanya perlahan. “It’s funny, kadang yang terlihat kecil bagi kita bisa berarti besar bagi yang lain.”
Ternyata respect juga terletak dalam hal-hal kecil yang tanpa kita sadari bisa berarti besar bagi orang lain seperti memasak dengan niat berbagi, memilih peralatan yang tepat tanpa diminta, dan menciptakan ruang di mana setiap orang merasa diterima, dalam kehidupan yang saling merangkul dengan sederhana.
Di luar, ranting-ranting musim dingin menggambar bayangan di jendela. Angin malam masih mengetuk pelan, tapi kami tetap duduk di sini, di dapur yang hangat dan membiarkan percakapan mengalir seperti api kecil yang menjaga kehangatan tetap bertahan.
“True respect isn’t about grand gestures. It’s about understanding the quiet needs of others and meeting them without being asked.”
Part 6.