“Life changes like the seasons. Savor the warmth before it turns to memory.”
Pagi itu, gerimis menari pelan di jendela, membasahi jalanan yang masih lengang. Kopitiam dipenuhi kehangatan dari aroma coffee dan tea yang menguar hingga bisikan obrolan yang saling bersahutan. Tapi di meja kami, percakapan mengalir lebih dalam dan syahdu.
“Dulu, kita ani selalu saja kalang-kabut, kan?” Salah satu dari mereka tertawa pelan, jemarinya mengaduk tea dengan gerakan yang hampir melankolis. “Awal pagi sudah bangun, siapkan sarapan anak-anak, keja, balik, masak. Sekarang, tiba-tiba rasa masa ani macam pelahan saja.”
Saya diam, membiarkan kata-kata itu meresap lebih dalam dari yang saya kira. Tak lama lagi, ketiga anak saya juga akan beranjak dewasa, satu per satu melangkah ke dunia mereka sendiri.
Hari-hari yang kini terasa padat, mulai dari menyiapkan breakfast, membungkus bekal untuk lunch, mengantar ke sekolah, hingga mendengar celoteh riang tentang dunia kecil mereka saat pulang, kelak akan luruh, berganti dengan keheningan yang perlahan merayap.
Wanita di hadapan saya tersenyum kecil, saling bertukar tatapan dengan temannya, seolah memahami perasaan yang sama. “Dulu kitani selalu harap ada banyak masa untuk diri sendiri,” katanya, disusul tawa lirih. “Now, we have all that time… but still, something feels missing.”
Saya menatap tea tarik halia di tangan, uapnya perlahan memudar. Begitulah hidup, selalu berjalan maju, tak pernah menunggu. Ada masa di mana kita merasa waktu begitu sempit hingga tak sempat menikmatinya, lalu tiba-tiba ia melambat, dan kita justru merindukan riuh yang dulu terasa melelahkan.
Dalam keheningan pagi, saya belajar sesuatu. Setiap phase hidup punya keindahannya sendiri. Yang bisa kita lakukan hanyalah menggenggam detik demi detik dan menikmati dengan penuh rasa syukur, sebelum ia menjelma menjadi kenangan yang hanya bisa kita tatap dari kejauhan.
“Every stage of life slips by too fast, cherish the warmth before it becomes a memory.”
Part 12.