“Not every trace is meant to vanish. Some are meant to season our days.”
Saya kembali menatap gelas di atas meja yang uapnya masih mengepul perlahan, seolah membawa bisikan dari tanah lereng di mana kopi Toraja tumbuh.
Kehadiran bapak pemilik warung yang singgah sebentar di meja sudah hilang bersama langkahnya, namun ada jejak halus yang tertinggal dari senyap yang tak bisa dijelaskan, bercampur dengan aroma kopi yang pekat.
Saya menyeruput sedikit, lalu terdiam. Ada sensasi lain yang kembali muncul, serbuk halus seakan menempel di langit mulut. Ketika bapak itu kembali lewat, saya menoleh dan bertanya.
Ia tersenyum tipis, lalu dua pria lain yang duduk tak jauh ikut menimpali. “Itu karena cara menghancurkan bijinya berbeda,” ujar salah satunya dengan nada tenang. “Kopi Toraja biasanya dibuat dengan metode semi-washed.”
Pria di sebelahnya segera menyambung, “Proses itu membuat rasa lebih kuat, tetapi memang sering meninggalkan jejak serbuk di mulut.” Sophie tiba-tiba mencondongkan tubuh. “Oh, maybe the serbuk is gamon, Mama.” Ia terkikik sambil menahan tawa.
“Maksudnya, sayang?” Saya ikut tersenyum. “Gagal move on, Mama.” Ia menjawab cepat, lalu tertawa. Oh well, seperti kopi ini, serbuk yang menetap di lidah bukan sekadar sisa, melainkan bagian dari rasa itu sendiri.
Begitu juga dengan gamon yang Sophie sebut tadi, kadang bukan soal gagal melupakan, melainkan tentang menerima bahwa ada yang memang tinggal di dalam kita, memberi jejak pada cara kita merasakan hidup.
“Some moments do not fade. They settle quietly, becoming part of the taste of our days.”
Part 20.

