“Each wave shapes the shore, just as each experience shapes the soul.” – Ralph Waldo Emerson
Kami masih jongkok di tepi pantai, membiarkan ujung jari menyentuh pasir yang lembap dan terus basah oleh sapuan ombak kecil. Di kejauhan, langit perlahan bergeser warnanya, dari biru pucat menuju keemasan yang hangat.
Burung camar melintas rendah, suaranya menggema lembut di antara deru laut yang tenang. Tak jauh di depan, seekor kepiting mungil yang lain berusaha melintasi busa ombak, meninggalkan jejak halus sebelum kembali terhapus air.
Sophie memungut kerang yang terbawa ombak, lalu memperhatikannya lama. “It’s strange, even broken things can still look beautiful.” Ia membandingkannya dengan cangkang utuh yang ia genggam sejak tadi.
Saya tersenyum, memperhatikan caranya membaca dunia dengan mata yang perlahan dewasa. “Mungkin karena laut tahu caranya memperhalus luka.” ujar saya lembut. “Ia tidak membuang, hanya mengubah.”
Sophie terdiam lalu pandangannya kembali pada laut yang berkilau. “Maybe that’s what learning is too, Mama,” katanya akhirnya. “It’s not about being perfect, but about softening the edges until we finally understand.”
Saya menatap ombak yang datang dan pergi, seolah ikut mengiyakan kata-kata Sophie saat itu.
Di tepian itu, laut terasa seperti guru yang sabar, seolah menunjukkan bahwa belajar bukan tentang kesempurnaan, melainkan tentang menjadi lebih lembut setiap kali dunia mencoba mengikis kita.
“We are shaped by what we learn again and again, the same way the sea shapes its stones.”
Part 33.

