“In every change, there is a quiet beauty, waiting to be noticed by those who are open to seeing it.”
Sophie masih menggoyangkan kakinya di bawah kursi plastic dan matanya tertuju pada gelas Thai tea-nya yang perlahan mencair. Es batu di dalamnya berdenting pelan, menciptakan riak kecil di permukaan tea yang warnanya mulai pudar dan semakin memudar seiring waktu.
Sesekali, dia menatapnya dengan penuh perhatian, seolah ada sesuatu yang mengusik pikirannya. “Mama,” katanya pelan, ” why does it taste different when the ice melts? Like it gets all flat?”
Saya mengikuti pandangannya, melihat gelasnya yang semakin berkurang, es batu hampir sepenuhnya mencair, meninggalkan air tea yang semakin encer. Saya tersenyum kecil, mengambil waktu sejenak untuk mengamati wajahnya yang serious, walau di baliknya ada keingintahuan yang menggemaskan.
“Sophie sayang,” jawab saya dengan lembut. “Saat es batu itu beku, ia menahan air dalam bentuk padat. Namun, ketika es tersebut mencair, air itu bercampur dengan tea, membuat rasanya terasa lebih ringan, atau bahkan agak hambar, karena ada tambahan air.”
Saya tersenyum, lalu merenung sejenak. Seperti es yang perlahan mencair dalam gelas Thai tea Sophie, kadang kita juga merasakan perubahan yang membuat segalanya terasa berbeda.
Meskipun rasa tea itu berubah, esensinya tetap ada yaitu tetap memberikan kenyamanan meski dalam bentuk yang baru. Begitu juga dalam hidup, meskipun banyak hal yang berubah, esensi itu tetap hadir, memberi makna dalam setiap detiknya.
Keindahan sering kali tersembunyi dalam perubahan. Jika kita mau membuka mata dan hati, kita akan melihat bahwa perubahan itu sendiri adalah bagian dari keindahan yang tak terduga, memberi warna baru pada setiap perjalanan hidup kita.
“Life is a series of subtle changes, and with each shift, a new form of beauty emerges, often hidden within the changes themselves.”
Part 3.