“The heart understands metaphors better than logic.”
Matahari sudah turun rendah saat kami keluar dari gedung pameran. Langit Hat Yai memudar ke jingga pucat, seperti batik yang perlahan luntur dimakan waktu. Mata Chloe berbinar melihat deretan lampu yang mulai menyala seperti bintang-bintang kecil yang diturunkan ke bumi.
“Look, Mama,” bisik Chloe sambil menunjuk ke depan. “They’re opening the stalls.” Kami menyeberang jalan kecil, memasuki tanah lapang yang mulai dipenuhi aroma hangat.
Wangi gorengan memenuhi udara, mulai dari Poh Pia Tod, lumpia renyah dengan saus asam manis yang kental, dan Yam Hem Kem Thong Tod, gorengan ringan dari jamur enoki, wortel iris, dan sedikit ketimun yang terasa semakin segar.
Chloe melangkah pelan di antara saya dan mbak Patsy dengan wajah penuh ingin tahu. Matanya menari mengikuti lampu kios yang bergoyang ditiup angin malam, telinganya menangkap suara wajan, tawa, dan sapaan ramah para penjual.
“Mama,” bisiknya. “Then maybe… strong hearts also mean walking slowly, even when everything else moves fast?” Saya menoleh.Pikirannya masih menyambung pembicaraan kami siang tadi.
Saya mengangguk pelan. “Iya, sayang. Seperti gorengan, hati yang kuat itu tidak tergesa-gesa. Ia tahu kapan menunggu, kapan menjaga bentuknya dan ketika waktunya tiba, gorengan tersebut akan keluar dengan warna keemasan, renyah di luar, tapi tetap hangat dan lembut di dalam.”
Chloe tersenyum kecil lalu menggeleng pelan, seolah geli karena saya sampai terpikir menjadikan gorengan di wajan sebagai perumpamaan. Oh well, kadang hal-hal yang paling rumit justru paling mudah dipahami lewat hal yang paling sederhana.
“To explain life to someone, we sometimes must look through the lens of metaphor.”
Part 20.