“True rest is not the absence of work, but the presence of ease within it.”
Mobil terus melaju perlahan, dan dari kejauhan suara jangkrik mulai memenuhi udara sore. Beberapa ibu tampak duduk di beranda rumah, tangan mereka sibuk menampi beras dengan ayakan bambu.
Saya menoleh sebentar ke luar jendela. Ada ketenangan dalam ritme kehidupan itu, seakan waktu di sini berjalan dengan caranya sendiri. Tidak terburu-buru dan tidak mengejar apa pun, hanya mengalir sebagaimana adanya.
Sophie bersandar pada bantal yang menempel di kursinya, matanya masih tertuju pada pemandangan di luar. “How come they look so relaxed when there’s so much work to do?” tanyanya pelan.
Nigel mengangkat bahu sebelum menoleh ke arah Sophie yang duduk di kursi tengah. “Could be because they don’t think about time the way we do. They just… do it with heart.”
Kata-kata itu menggema dalam diri saya sendiri. Kesibukan rupanya tidak selalu harus berakhir dengan terburu-buru dan pekerjaan tidak harus melahirkan penat bila dilakukan dengan hati yang tenang.
Mungkin kebahagiaan memang sering tumbuh dari cara kita menaruh hati pada apa yang ada di depan mata. Sesederhana menampi beras di beranda atau mendengar tawa anak kecil yang berlarian mengejar bola di halaman.
Perjalanan ini kembali mengingatkan saya bahwa makna kerap hadir di sela jeda yang tidak pernah kita rencanakan.
“Where life flows slowly, the heart learns what it means to be full.”
Part 41.