“You fight for your rights when your rights are being denied. When the building is on fire, you don’t stand by and let the building burn down and say we’ll fight the fire another day.”
Richrad Gilbert – American Economist and Founder of Law and Economics Consulting Group
Warna kelabu membungkus langit Manchester di saat saya, Peter dan Sean sedang berjalan menuju cinema. Ditemaramnya senja terlihat banyak mahasiswa sudah drunk untuk merayakan long weekend.
“Cuma kita yang jalannya masih lurus.” Peter tertawa kecil.
“Mari kita blend dengan suasana Friday night.”Sean menimpali.
Kami iseng mempraktekkan jalan dengan miring-miring seakan ingin jatuh lalu menghampiri tiang listrik dan pura-pura menabrak lalu mengomeli tiang karena kenapa tidak minggir.
Semakin meramaikan suasana dengan bernyanyi serempak 3 bahasa, Inggris, Belanda dan Indonesia ke box telephone umum yang tak jauh dari situ. Kami pun tertawa kecil dan berjalan beriringan hingga tak terasa sudah sampai di depan cinema.
Di depan ticket counter, ternyata film yang kami mau nonton sudah sold out dan petugas langsung menyerahkan ticket film lain tanpa konfirmasi terlebih dahulu. “Film terbaik sepanjang masa adalah film horror ini.”
Ticket yang sudah diprint tidak bisa direfund sehingga terpaksa menonton film tersebut. Kami sangat kecewa dengan alur yang tidak jelas dan ending cerita yang menggantung. Begitu keluar, Peter mengajak saya dan Sean untuk menuju ke customer service.
Ia meminta refund atas waktu yang terbuang percuma karena kelancangan staff ticketing. Seluruh staff cinema yang lain terlihat berkumpul karena ingin tahu apa yang terjadi dan staff ticketing dipanggil.
Ia meminta maaf dan diterima oleh Peter dengan lapang dada. Case closed.
“Sarah, Sean, always remember to stand up for your right.” Peter menekankan dengan suara tegas.
“Yes, even if it causes waves.” Saya tertawa cekikikan.
“And even if people think that you are crazy karena meminta refundnya bukan uang tapi waktu.”Sean ikut tertawa dan kami menepuk punggung Peter dengan bangga.
Ia terlihat bahagia karena berhasil mempertahankan haknya walau pun terhadap hal yang tidak biasa.
Perbicaraan singkat itu kembali menyusuri ingatan disaat saya berada di Cambodia. Saya, mbak Ayu dan Lia, salah satu dari team saya baru saja landing di Phnom Penh, Cambodia.
Sesampai di hotel, saya menunjukkan konfirmasi booking yaitu kamar view full jendela. Kami terkejut karena kamar yang diberikan tidak ada jendela sama sekali, sangat berbeda dengan konfirmasi booking.
Saya langsung protes dan dengan santai ia berkata bahwa kamar itu sudah sold out. Saya berkata ke mbak Ayu, “Mbak saya kebawah yah, mau protes.” “Iya Sarah ,koq dikasih kamar tanpa jendela.”
“Iya mbak, kamar jadi gelap dan tidak ada view.”
Saya turun dengan membawa kertas konfirmasi ke receptionist. Walau pun kecewa, saya menahan nada bicara agar tetap lembut namun intonasi tegas. Receptionist mengelak dengan memberikan seribu satu alasan yang tidak masuk akal bahkan tidak mau memanggil managernya.
”Kalau manager kamu tidak muncul, akan sangat gampang untuk google contact number dari owner hotel ini.” Tak lama sang manager datang, awalnya ia juga memberikan alasan yang berbelit-belit.
Saya hanya memberikan dua opsi, cancel dengan full refund atau berikan type kamar sesuai dengan pesanan.
Pada akhirnya mereka memberikan kamar sesuai dengan hak saya. Mereka juga mengakui kalau sering melakukan double bahkan triple booking untuk kamar yang sama. Harapannya jika tidak ada yang protes, mereka akan mengantongi perbedaan harganya.
Mengapa harus takut untuk memperjuangkan yang sudah menjadi hak saya?
Bukankah mereka yang seharusnya takut karena telah merampas hak saya dan melakukan wanprestasi atau ingkar janji secara hukum ?
Dear me, you always be in my corner, no matter what. Thank you and I love you for that.
“If you believe you’re right…stand up and fight for your place in the sun. If you believe you can do it, hang in for the whole 15 rounds because even if you don’t win, you will have earned the respect of everyone in the fight, including yourself, and in that sense you will have prevailed.”
Erin Brockovich – Environmental activist, despite her lack of education in the law, she was building a case against Pacific Gas & Electric Company with the help of attorney Ed Masry.
March 27th , 2022