“No one is born hating another person because of the color of his skin, or his background, or his religion. People must learn to hate, and if they can learn to hate, they can be taught to love, for love comes more naturally to the human heart than its opposite.”
Nelson Mandela
Sinar matahari menyinari kota Leeds yang penuh warna di setiap sudutnya karena bunga-bunga bermekaran dengan eloknya. Cuaca hari itu memang sangat mendukung karena Inggris sangat terkenal dengan cuaca yang sangat unpredictable dan agak gloomy.
Bayangkan saja, dalam sehari bisa ada 4 musim silih berganti. Dari hujan salju tiba-tiba mentari bersinar dengan hangatnya. Tak lama, angin kencang menderu-deru lalu berakhir dengan guyuran hujan.
Di hari Sabtu yang cerah, kami, komunitas pelajar di Leeds, mengadakan day trip ke salah satu kota di pulau Anglesey, Welsh.
Kota kecil ini cukup unik karena mempunyai nama yang cukup panjang. Namanya terdiri dari 58 huruf walaupun secara teknis hanya 50 huruf karena dalam bahasa Welsh huruf ‘ll’, ‘ng’ dan ‘ch’ merupakan satu kesatuan huruf.
Nama kota tersebut adalah Llanfairpwllgwyngyllgogerychwyrndrobwllllantysiliogogogoch yang artinya Gereja Santa Maria di lembah pohon Hazel putih dekat pusaran air deras dan gereja Santo Tysilio dari gua merah.
Saya bergegas berlari kecil menuju Parkinson Step yang letaknya hanya 2 menit jalan kaki dari tempat tinggal saya di Blandford Grove, jalanan kecil tepat di depan gedung Parkinson.
Dari kejauhan sudah terlihat ramai pelajar Indonesia berkumpul, saya melambaikan tangan ke dua teman saya, Nuke dan Santi, yang sudah terlihat di seberang jalan.
Nuke dengan senyum cantiknya yang khas dan Santi dengan mata bulatnya yang manis dan teduh penuh keramahan menyambut kedatangan saya. Kami bercengkerama sambil menunggu semua peserta lengkap lalu kami siap berangkat.
Bus pun menuju ke Welsh. Sepanjang jalan tidak hentinya kami melepas canda dan banyolan. Rasanya sungguh plong bisa cekakak-cekikik dan bercanda dengan menggunakan bahasa ibu di negeri orang. Setelah 3 jam perjalanan, kami pun sampai.
Walaupun kotanya agak kecil tapi terbayarkan dengan pemandangannya sangat indah, terutama castle yang letaknya sekitar 15 menit dari kota tersebut tak lupa kami kunjungi sebelum kembali ke Leeds.
Karena kelelahan, sepanjang perjalanan pulang lebih banyak terdengar dengkuran lembut saling bersahutan dari segala penjuru bus. Kami sampai di parkinson step menjelang tengah malam. Saya segera turun dan berjalan pulang .
Saat hendak menyeberang jalan, Andri, salah satu mahasiswa menawarkan diri mengantar saya sampai ke rumah, tapi saya menolak karena cukup dekat walaupun hari sudah malam.
Dalam perjalanan pulang, tidak jauh dari pintu rumah saya, tiba-tiba saya dikejar oleh tiga orang anak remaja yang nampaknya seperti keturunan Afrika. Mereka mendorong saya dan mencoba merebut tas saya.
Tubuh kecil saya terjatuh dan terjerembab ke dingin dan kerasnya aspal. Saya ditendang tanpa henti oleh mereka yang berusaha menarik tas yang saya selempangkan hingga saya terseret karenanya.
Saya berteriak sekuat mungkin. Gerombolan remaja tersebut lalu merebut telepon genggam yang terjatuh di jalan dan berlari kencang meninggalkan saya. Housemate saya, Ellen, yang pertama kali mendengar teriakan karena kejadiannya hanya berjarak beberapa meter dari pintu rumah kami.
Ellen berteriak dan berlari turun, disusul oleh Irene dan Rinko. Mereka menolong saya yang tampak gemetaran karena masih shock akan kejadian tersebut. Ellen menelepon polisi dan tak lama kemudian sirene polisi terdengar memecah keheningan malam, berhenti tepat di depan rumah kami.
Saya diwawancara oleh polisi dan diajak menyusuri jalan sekitar jikalau mungkin mereka masih dekat. Namun, kami tidak bisa menemukan mereka dan memutuskan untuk pulang.
Keesokan harinya saya menelpon mama dan menceritakan betapa bencinya pada mereka yang telah menyakiti diri saya.
Mama dengan suara lembutnya di ujung telpon berusaha menenangkan dan berkata, “Jangan biarkan kebencian dan dendam kamu pada sekelompok orang menggerogoti kebahagiaan kamu. Bersyukurlah karena kita telah dijadikan-Nya sebagai pihak yang teraniaya, bukan yang menganiaya, karena jika kamu golongan yang menganiaya berarti kamu ikut andil terhadap tumbuhnya benih kebencian di dunia ini”.
Tidak seharusnya jeruji kebencian itu tumbuh sehingga akan membatasi kita melihat dunia dengan hanya secara picik. Duri kebencian akan membuat kita menggeneralisasi bahwa sekelompok ras tertentu dan semua anak turunannya adalah jahat dan patut dibenci.
Di hari ibu ini ingin kupanjatkan doa terindah untuk sosok wanita cantik yang sangat kuat karena telah mengajarkan saya tentang cinta sepenuhnya tanpa cabikan kebencian.
I love you, Mama.