“We can’t always be on the doorstep of those we love, but love is a never dying presence. It just is. And, if I have ever loved you, I still do. If you take a moment to remember and feel it, you will know”. Anonymous
Besok adalah hari terakhir saya di Basel, tidak hanya saya, semua juga sibuk di kamarnya masing-masing mulai dari membersihkan ruangan sampai packing semua barang.
Riuhnya bunyi dari kamar-kamar lain, sudah terdengar sampai ke kamar saya. Bunyi selotip dan bunyi seretan box terdengar sayup-sayup di telinga saya.
Kedua sahabat saya, Michael dan Tilahum datang ke apartement saya untuk membantu. Dari membersihkan toilet, membersihkan lantai, membersihkan lemari, sampai membersihkan meja. Setelah semua bersih, Tilahum meninggalkan saya dan Michael karena harus kembali ke apartementnya di lantai paling dasar gedung untuk menelpon istrinya.
Dengan wajah kelelahan, muka penuh debu, tangan dan kaki yang agak kotor, saya dan Michael memutuskan untuk istirahat dengan duduk dibawah lantai. Ada satu koper pink yang telah tertutup rapi.
Ruangan kamar tidur berdinding putih itu sekarang terlihat kosong dan terlihat lusuh, seakan mampu menggambarkan kesedihan kami karena akan meninggalkan segala kenangan suka dan duka yang terpatri di kota ini.
Saya berkata kepada Michael, “Michael, semua kenangan kita bertiga sekarang pindah ke dalam koper ini. Thank you Michael, saya akan merindukan kalian berdua. Terima kasih atas persahabatan yang sangat indah dan mengesankan ini.”
Saya masih ingin melanjutkan kata perpisahan tapi tiba-tiba mata saya berkaca-kaca karena waktu untuk berpisah semakin dekat.
Tak akan ada lagi jalan sore menyusuri Rhine River sambil menikmati lembayung senja, tak akan ada lagi piknik romantic rasa Salvador Dali di tempat jemuran, tak akan ada lagi perjalanan ke Germany untuk membeli sembako, tak akan ada lagi kisah kerusuhan kami di library.
Kami bertiga akan berpisah dan kembali ke negara masing-masing untuk terus mengejar dan merealisasikan mimpi kami masing-masing. Akhirnya pertahanan air mata saya lepas juga. Pipi saya langsung penuh dengan genangan air mata.
Michael segera beranjak dari tempatnya, lalu membuka jendela yang dari tadi tertutup rapat. Angin sejuk yang menyegarkan itu langsung masuk dan menerpa wajah saya.
Wangi pohon dan dedaunan dari luar jendela sangat terasa segar di hidung apabila saya hirup. Tetesan air mata ini juga sangat terasa dingin di pipi saya, karena terpaan angin yang masuk dari jendela.
Dari tempat saya duduk, saya bisa melihat setitik air mata juga lumer di wajah Michael. Air mata yang merupakan gumpalan rasa yang telah sekian lama ditahan oleh aliran emosinya.
Saya lalu berkata, “Kamu menangis ya?”
Michael hanya terdiam sejenak dan membiarkan air matanya jatuh perlahan sampai membasahi pelipis dan bibirnya.
Lalu Michael pun berkata, “Sarah, you are one of a kind. Perhatian kamu, cekikikan kamu, senyuman kamu, kepanikan kamu, saya menyadari itu hanyalah perlakuan sebatas sahabat. Saya melewati batas itu. Saya telah mencintaimu dalam seribu diam saya. Sebenarnya saya ingin selamanya seperti ini dan kamu tidak tahu itu,tetapi saya ingin menghapus benih-benih cinta ini dengan membeberkannya kepada kamu. Saya percaya ini adalah satu-satunya cara.”
Saya lalu bergegas menghampiri dirinya yang masih tetap berdiri di dekat jendela. Angin kencang semakin terasa dingin menerpa tubuh saya. Michael lalu menatap saya lagi, kali ini tatapannya jauh lebih dalam dan bisa saya rasakan dalam tatapan matanya ada perasaan lega karena telah mengungkapkan isi hatinya.
Michael juga berkata dengan suara yang terputus putus karena berusaha menahan segala haru, “Saya tidak ingin meminta maaf dalam hal ini, karena perasaan ini adalah alami. Dengan memberitahukan perasaan ini, saya telah membebaskan diri saya dari terali besi semu yang bernama harapan.”
“Biarkan rasa cinta saya menyublin menjadi cahaya seperti lembayung senja favorite kita. Cahaya indah yang mampu menjaga kamu. Cahaya tersebut mampu memasuki celah bahkan sekecil apapun dan menggapai kamu dimanapun kamu berada. Sangat sulit, tapi saya tahu saya bisa.”
“Apapun bentuknya, saya adalah orang ketiga yang peran tidak akan pernah diharapkan kehadirannya. Saya akan mencoba mencari kebahagiaan lain tanpa harus merebut kebahagiaan kalian. Kebahagiaan kamu adalah kebahagiaan saya.”
Disaat Michael menutup pembicaraannya, tak terasa air mata kami telah berhenti dan jiwa kami seakan terasa seringan kapas, karena saya tahu ada cahaya selembut lembayung senja dari sahabat saya yang akan selalu menjaga dari jauh. Cinta seorang sahabat yang tanpa syarat.
Jangan kerdilkan arti cinta dengan cara ingin merebutnya, karena pada akhirnya akan menciptakan cinta yang penuh dengan balutan air mata dari ketiga pihak.