“I learned my strengths and my weaknesses. I experienced the exhilaration of the ups and the despairs of the lows and most of the feelings in between. I learned courage, and I learned it myself” – Unknown
Kampong Ayer adalah desa terapung pertama yang merupakan awal dari peradaban Bandar Seri Begawan, ibu kota dari Brunei Darussalam. Desa terapung ini dijuluki sebagai ‘Venice dari Timur’ , tidak hanya karena seluruh bangunannya berada di atas air juga karena mereka menggantungkan hidupnya di air.
Awalnya mereka mendirikan rumah diatas air karena tidak ingin bersusah payah membuka hutan karena medan yang sulit serta berbukit. Pada akhirnya semakin banyak orang yang tinggal di sana dan membentuk seperti kota kecil yang terdiri dari puluhan desa kecil dan membuatnya sebagai area pemukiman di atas air terbesar di dunia.
Sepanjang perjalanan di dalam boat bersama Aaric dan Folke untuk melihat buaya dan kera hidung merah, kami melewati perumahan kampong Ayer tersebut. Setelah pulang dari tour dadakan, saya memutuskan untuk melihat secara dekat dan kami pun berpisah di depan apartment. Mereka melanjutkan tidur karena Folke baru saja sembuh dari masuk anginnya berdasarkan diagnosa ala saya.
Sepanjang jalan, silih berganti mobil mewah berhenti, membuka jendela mobil dan mengira saya adalah warga lokal yang mobilnya mogok dan ingin menolong. Mungkin bagi mereka suatu pemandangan aneh melihat seorang wanita lokal berjalan kaki sendirian di negara yang seluruh penduduknya kaya raya.
Kalau pun ada beberapa orang yang jalan kaki, hanyalah tourist yang penampakannya akan seperti Folke atau Aaric. Pada akhirnya sebuah mobil yang tak kalah mewahnya berhenti dan seperti mobil sebelumnya juga ingin membantu.
Saya menjelaskan untuk kesekian kalinya kalau saya adalah turis dari Indonesia dan hanya jalan-jalan menikmati suasana pagi. “Saya punya banyak teman orang Indonesia dan mereka tidak suka jalan kaki . Mereka pasti sewa taxi atau ikut tour bus dan hobbynya shopping ke mall . Mau kemana ? “wajahnya terlihat bingung.
“Saya mau ke kampong Ayer, Kak”. Kakak ,begitulah panggilan untuk perempuan yang dituakan di Brunei. “Oh kami tinggal disana, ayo sini ikut saja jadi kamu tidak usah jalan kaki karena payah. Bisa putus your leg nanti”
Wanita setengah baya tersebut menekan tombol dan pintu mobil belakang terbuka secara otomatis. Dengan seringnya saya traveling terutama traveling solo, sense kalau seseorang itu harmless atau tidak semakin terasah , sehingga saya pun ikut ke dalam mobil.
Saya duduk diantara kedua anaknya yang masih seumuran Nigel , Chloe dan Sophie. “Assalamualaikum, nama siapa ? Saya Sarah” menyodorkan tangan ke mereka.
Mereka tersenyum dan yang paling kecil terlihat tertawa kecil sehingga terlihat giginya ada yang baru saja tumbuh , membuat wajahnya makin terlihat cute.
“Waalaikum salam aunty Sarah
,you nak visit rumah kami yah ?” logat melayu bercampur English yang sangat kental.
“ Good idea, let’s have breakfast together” Sahut ibunya. Sesampai dirumahnya, terlihat aneka suguhan makanan khas Brunei tersaji dimeja yang sungguh menggugah selera.
Terdapat mi goreng khas Brunei dengan rasa yang unik karena dimasak dengan tambahan sambal dan saus tiram yang melimpah. Disampingnya ada ambuyat atau papedanya orang Brunei. Ia menerangkan bahwa ini dinikmati dengan opor ayam atau ikan kuah kuning yang keduanya tersaji lengkap ,hanya tinggal memilih.
Terdapat juga penganan ringan seperti kue cara pusu yaitu kue rebus dari tepung beras yang rasanya sangat mirip dengan kue apem. Begitu pula ring cake mengingatkan saya akan kembang goyang baik bentuk dan bahan dasarnya yaitu tepung beras. Kami pun bertukar cerita dan tak henti bersenda gurau.
Pengalaman ini merupakan salah satu contoh mengapa jika ada kesempatan saya lebih memilih travel solo. Saya lebih approachable bagi para strangers untuk memulai pembicaraan dan sering kali berakhir dengan jalinan pertemanan yang indah.
Semakin saya sadari as I travel solo, I learn more, experience more, and mendapatkan banyak pengalaman yang kemungkinan kecil akan saya dapatkan jika traveling dengan group.
I can discover more about what makes me, ME.
Saya juga bisa menghabiskan waktu in solitude dan itu will allow me to embark on an inward journey of my self-discovery. Now, I can always return home to my family and friends as a more enriched person.
“A person needs at intervals to separate himself from family and companions and go to new places he must go without familiars in order to be open to influences, to change”
Katharine Butler Hathaway- The author of Little Locksmith, a memoir about the effects of spinal tuberculosis on her childhood and adult life.
March 4th, 2022