“I can do things you cannot, you can do things I cannot; together we can do great things.”
Mother Teresa
Suasana musim semi di negara empat musim selalu memberikan pengalaman tersendiri. Saya teringat saat masih di Basel dahulu. Walaupun suhunya masih 6 derajat, langit tampak bersinar dengan warna biru cerahnya.
Salju sisa semalam sudah mencair namun suasana dingin tetap terasa karena derai hujan yang muncul sekilas, seakan tetesan air tersebut hanya ingin tersenyum mesra sekejap sebelum beranjak pergi.
Sepulang dari kampus, saya ditemani Tilahum dan Michael menuju pusat kota Basel yang identik dengan bangunan tua yang nampak klasik desainnya karena memang umur bangunannya sudah ratusan tahun. Kami bertiga berniat untuk pergi melihat pemandangan kota Basel dari atas Pfalz di gereja Basler Munster.
Kami berjalan sambil bercanda tawa, memecah kesunyian dan dinginnya hari itu. Setelah melewati jalan yang berkelok-kelok, terlihat dari kejauhan bangunan gereja berdesain romawi cukup mencolok dengan warna merah batanya, pertanda kami sudah dekat.
Gereja itu sungguh menawan karena letaknya yang berada di kawasan bukit membuat gereja dengan menara kembarnya menjadi gedung yang tertinggi di Basel.
Sesampainya di sana, kami naik ke Pfalz (teras atas) untuk menikmati pemandangan seluruh Basel. Munsterplatz atau alun-alun kota yang berada tepat di depan gereja semakin terlihat indah dari atas sana. Areanya sangat luas dan tiba-tiba mengingatkan saya pada kota tua di Jakarta.
Saya lalu berkata, “Wah suasana seperti ini membuat homesick yah. Pasti kalian rindu dengan negara masing-masing. Sama-sama di benua Africa, tapi indah mana? Negara Tilahum atau negara kamu, Michael ?”
Michael menjawab,”Africa memang bukan sebuah negara, tapi kami adalah satu. Contoh kecilnya adalah saya dan Tilahum. Walaupun berasal dari negara yang berbeda, kami merasa diri kami ini satu kesatuan, yaitu we are African. “
“Iya, Sarah. Seperti kata presiden Ghana yang pertama, ‘Kwame Nkrumah. I am not African because I was born in Africa but because Africa was born in me’. Itulah kami, Sarah.”
Saya pun berkata, “ Percakapan kita terakhir di Rhine River ditambah perkataan kalian sekarang, membuat saya makin bergetar kalau mengingat Indonesia. So Indonesia was born in me. “
“Betul sekali, Sarah. Because we travel“, kata Michael dengan suara yang bergetar.
“But we do not stay”, lanjut Tilahum dengan suara yang terdengar menahan haru.
“Maksudnya apa yah?”, tanya saya kebingungan.
Seperti biasa, kata-kata Michael dan Tilahum agak sulit di cerna jika sudah berbincang tentang patriotisme karena maknanya yang selalu dalam.
“Kita selalu ada rasa ingin pulang, baik itu secepatnya atau di kala pensiun nanti.”
“Ah yes, we travel but we do not stay. Switzerland dengan Munsterplatznya memang sangat indah tapi saya selalu rindu Indonesia. Perkataan kalian membuat saya merindukan hal-hal sederhana yang bahkan tidak saya sadari kalau saya mencintainya”, saya berkata sambil berkaca-kaca dan hidung memerah mencoba menahan rasa haru. Rindu ini rasanya menggebu-gebu dalam hati saya.
Saya merindukan aroma ketoprak . Rindu teriakan tukang sate yang membahana saat lewat di depan rumah saya. Rindu makan mie ayam di mangkuk keramik Mi Won sambil minum es kelapa di pinggir jalan. Saya juga amat merindukan nikmatnya minum teh botol yang di masukkan ke dalam plastik dan diberi sedotan, lalu diikat dengan karet gelang.
Terlebih lagi, yang paling saya rindukan adalah senyuman hangat orang-orang di sana.
Benar kata Michael dan Tilahum bahwa semakin jauh saya melangkah dan melihat kerlap-kerlipnya dunia, semakin rindu rasanya ingin kembali ke Indonesia.
Untaian lagu yang sewaktu saya kecil selalu diputar jam 3 pagi saat semua acara TV telah habis, pagi ini terasa lebih berdentum penuh makna dan membuat hati saya berdesir karena rindu semakin membanjiri rongga dada.
Walaupun banyak negeri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan
Saya rasa hidup di Indonesia adalah sebuah keajaiban. Saya akui, Indonesia memang bukan negara yang sempurna.
Masih ada segelintir orang-orang yang di mulut dan hatinya penuh dengan sumpah serapah dan caci maki, mencoba merusak kesatuan Indonesia. Tapi saya yakin bahwa jauh lebih banyak orang-orang yang mencintai Indonesia dan tak ingin Indonesia hancur terpecah-belah.
Saya optimis ada harapan untuk persatuan Indonesia di masa kini dan yang akan datang untuk saya, kamu, mereka, dan kita semua.
Pepatah,
“Bersatu kita teguh, berlima kita boyband”
February 15th, 2018
https://www.sarahbeekmans.co.id/life-takes-you-to-unexpected-places/ part 1