0062 8119985858 info@sarahbeekmans.co.id

“A mind that is stretched by a new experience can never go back to its old dimensions”— Oliver Wendell Holmes.

Hampir 20 tahun sudah saya merasakan pengalaman travelling, terutama sebagai solo traveller. Ada begitu banyak negara di dunia ini dan hampir semuanya sudah saya jelajahi. Dimulai sejak saya mendapatkan scholarship dari orang tua saya, yaitu IMF (Iuran Mother dan Father) untuk kuliah ke Europe dan America. Sekarangpun pekerjaan membuat saya lebih banyak menatap awan daripada menatap piring ketoprak.

Saya dulunya adalah anak yang pemalu, manja, penakut, gampang panik dan baperan. Teman-teman sekolah saya yang dahulu tahu sebagaimana cengengnya saya. Setiap pulang sekolah untuk menuju pangkalan angkot yang jaraknya cuma beberapa ratus meterpun saya takut sekali. Saya pasti mencari teman untuk pulang bersama.

Dulu supir angkotnya sadis sekali, lihat anak sekolah pasti tidak mau karena pelajar bayarnya discount. Lebih sedihnya lagi, kalaupun bisa sukses duduk di angkotnya, saya diturunkan dengan teganya di tengah jalan. Alasannya karena angkot sudah kosong dan supirnya mau putar balik. Saya pasti langsung menangis begitu tahu nasib saya harus di turun paksa.

Para supir angkot tersebut bisa dituntut karena melanggar salah satu pasal, yaitu perbuatan yang tidak menyenangkan. Tetapi kalau flash back lagi, sebenarnya saya sekarang harus berterima kasih ke semua supir angkot tersebut atas jasanya. Mereka turut berkontribusi membantu menghabiskan jatah air mata saya. Seperti kata pepatah, habiskanlah jatah menangismu sampai menangisnya capek sendiri.

Saya belajar menjadi lebih gesit, mandiri, cuek, berani, dan segudang miracles lain yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Jika kita travelling dengan teman, kita akan tetap berasa di zona nyaman karena bisa menggantungkan segala resiko kepada teman seperjalanan atau bisa saling menyalahkan jika sesuatu tidak sesuai dengan rencana.

“Tuh kan harusnya begitu”, “Tuh kan betul yang begini”, “Tuh kan gue bilang juga apa”. “Tuh kan moment” ini tidak akan terjadi jika travelling solo.  Selama di luar, tidak ada habisnya saya mempermalukan diri saya sendiri, tapi the good news is, tidak ada yang peduli and no one ever will. Hanya ada saya, diri saya dan semua cerita tersebut tersimpan hanya dalam pikiran dan benak saya.

Salah satu cerita adalah sewaktu saya main ke tempat teman saya di Hull, kota kecil di bagian utara Inggris yang letaknya tidak jauh dari Leeds. Dulu kota ini agak membosankan sampai kami menyebutnya kalau Hull itu singkatan dari Hell dan Dull.

Waktu itu saya diinvite ke party teman saya di fakultas South East Asian Studies. Disana juga banyak bule yang mengobrol dan bercanda bersama. Tiba-tiba dengan pedenya tanpa berbisik saya bilang, “Lucky, Gaby, lihat deh bule yang di depan kita, sudah tahu rambutnya blondies tapi masih pakai baju kuning juga. Mirip boneka bebek yang kuning itu yah.”

Pulangnya kami jalan kaki menuju tempat halte bus. Sambil menunggu datangnya bus, ada sekelompok bule melewati kami. Bule yang baju kuning tadi langsung berkata dengan bahasa Indonesia yang lancar, “Punten mbak, mas, bebek mau lewat dulu.”

 

Saya langsung kaget dan hampir lompat, karena ternyata bule tersebut mengerti bahasa Indonesia dan akhirnya saya tahu kalau dia juga lancar sekali bahasa jawanya. Saya langsung minta maaf ke bule tersebut dan muka saya merah seperti lobster rebus karena malu.

Yang kenal dekat dengan saya pasti tahu sejak anak saya kecil, pasti mereka selalu saya bawa setiap business trip. Jika mereka ikut, tidak hanya saya pendam di dalam kamar hotel tapi juga ikut dalam meeting atau saya sembunyikan di bawah meja jika anak kecil tidak diizinkan masuk. Kalau situasi memungkinkan, saya selalu membawa hanya satu orang anak saja setiap business trip, karena di saat mereka travelling solo, jiwa survivalnya lebih keluar .

Salah satu yang berkesan buat saya, sewaktu Chloe masih berumur 7 tahun dan saya ajak ke trade show B2B di luar negeri. Di hari kedua pameran, sebelum berangkat, kami mampir ke toko untuk membeli yoghurt kesukaan Chloe. Ia lalu membuka fridge, memasukkan tangannya yang mungil tersebut dan akhirnya mengambil yoghurt yang jenisnya berbeda. Saya heran dan langsung bertanya, “Kenapa yang itu, bukan yang seperti kemarin? Kan itu favorit kamu?”

 

Chloe menjawab dengan gaya yang wise, “It’s okay mama, I just compare the price and this is cheaper. Now I know that actually the money is not coming from ATM machine but we need to work for it”. Untuk pertama kalinya Chloe saat belanja melihat price tagnya. Biasanya berdasarkan modelnya yang lucu atau karena warna pink. Saat itu hati saya langsung mekar dan renyah, seperti rengginang dalam kaleng Khong Guan yang di tutup rapat sehingga kriuknya tidak hilang. Kriuk, kriuk, kriuk, nyess.

Travelling solo itu seperti kita sedang bernyanyi, di awal ada misteri yang harus kita pecahkan, di akhir ada pelajaran yang akan kita dapatkan. Di tengah lagu, adalah semua tumpahan emosi dan getaran perasaan yang membuat perjalanan tersebut akan menjadi kenangan yang indah dan tak akan bisa dilupakan.

 

Pengalaman saya selama belasan tahun travel the world sangat priceless. Ini adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah saya ambil and I wouldn’t take it back. Thank you to my beloved parents for all your love and support. No matter where I went, I always knew my way back to you. You are my compass star and you are my trembling happiness.

 

Chloe Aashya Beekmans, minggu ini mama akan ajak kamu naik angkot udara lagi yah. Buckle up, kiddo. It’s gonna be tough ride.

Seperti kata pepatah,

“Travelling solo itu penuh dengan misteri

Ibarat kamu supir angkotnya,

Hanya Tuhan dan kamu yang tahu kemana akan melaju, kapan putar balik, dan berapa lama kamu mau ngetem”.

 

Sarah Beekmans, October 15th, 2017.

 

 

sarah beekmans chloesarah beekmans chloesarah beekmans chloesarah beekmans chloe

Bagikan ini:
error: Content is protected !!