“Investment in infrastructure is a long-term requirement for growth and a long-term factor that will make growth sustainable.”
Candha Kocchar
Langit Jakarta makin temaram diselimuti oleh secercah cahaya orange keemasan. Mentari sore hampir tenggelam di ufuk barat dan di saat yang bersamaan tubuh mungil saya sedang tenggelam di antara lautan manusia yang berjejal di dalam kereta.
Di tengah hingar bingarnya suasana sore, segala doa saya panjatkan agar bisa keluar dengan selamat. Begitu pintu kereta terbuka di stasiun Manggarai, saya melompat keluar dengan sekuat tenaga. Di saat yang bersamaan, serbuan penumpang yang ingin masuk menerjang bagaikan angin topan.
Tanpa sempat mengambil nafas yang dalam, saya berlari lagi menuju peron selanjutnya mengejar kereta tujuan stasiun Tanah Abang. Kereta akhirnya tiba walaupun mengalami delay 10 menit sehingga kerumunan penumpang makin menyemut di bibir peron.
Saya berhasil masuk ke dalam kereta setelah berjibaku di antara penumpang lain. Namun, perjuangan belum berakhir. Saya kini memasang posisi kuda-kuda sebelum pintu terbuka di Stasiun Tanah Abang. Posisi ini mengingatkan posisi kuda-kuda Nigel, anak saya ketika ingin melancarkan serangan scissor sweep Brazilian Jiujitsu-nya.
Sepanjang perjalanan inilah saya merasakan posisi kaki seakan tertukar. Sepatu terinjak-injak secara semena-mena tanpa bisa tahu harus menghakimi siapa.
Terlihat posisi berdiri penumpang di sekitar dengan kaki dan tangan miring tak karuan seperti burung bangau, hingga teriakan wanita yang tali BHnya putus. Hal itu tak mengherankan karena badan tidak hanya terjepit, tapi menempel ibaratnya envelope dan perangko, lekat erat bersatu padu dalam versi mengenaskan.
Jangankan mengibaskan poni, bernafas pun kadang harus memakai mulut, kepala mencari secuil tempat untuk menghirup oksigen yang semakin menipis di tengah himpitan penumpang lain.
Aroma persaingan merebutkan tempat duduk pun sangat ketat. Prinsipnya adalah kalau kursi masih kelihatan warnanya walaupun secuil, masih bisa dipepet dan digeser walaupun risiko kaki keram sepanjang perjalanan. Tetapi, itu masih lebih baik daripada risiko berjatuhan secara massal jika posisi berdiri.
Derap langkah ribuan penumpang lain terdengar sangat riuh begitu sampai di stasiun Tanah Abang. Saya kembali berlari melewati jembatan untuk menuju platform berikutnya.
Setelah berhasil menghimpitkan tubuh langsing saya bak Miss Universe (yang gagal audisi), kereta bergerak meninggalkan stasiun Tanah Abang. Terlihat dari balik jendela tumpukan motor, mobil, dan bus bercampur aduk di kesemrawutan jalan. Di dalam kereta yang makin pengap, buliran keringat membanjiri wajah dan sekujur tubuh tak terelakkan.
Akhirnya sampai juga di Stasiun Kebayoran. Saking capainya saya serasa baru saja keluar dari terjangan cobaan dari acara Takeshi Castle dan bisa menerobos finish line.
Nafas megap-megap, badan terasa oleng, dan pandangan mulai nanar. Tak terlihat taksi yang parkir ataupun lewat. Tak kuat berdiri, saya bersandar di meja tempat pembayaran parkir motor.
Tiba-tiba salah satu pengemudi ojek yang sedang parkir bertanya, “Mau ojek, Neng?”
“Tidak akan muat, barang saya banyak sekali, Pak.”
“Bisa, mau pakai aplikasi atau tunai?”
“Tunai saja,” suara saya serak dan tangan gemetar sehingga tidak ada tenaga untuk mengeluarkan hp dari tas.
“10 ribu yah, Neng.”
“Saya kasih 20 ribu pun tidak masalah, Pak,” jawab saya dengan nafas masih tersendat-sendat sambil mengikuti bapak tersebut menuju motornya.
“Capai sekali, darimana sih, Neng?”
“Dari Bandung. Saya tadinya mau naik taksi dari stasiun Jatinegara, tapi ditolak semua karena macet, jadi terpaksa harus naik KRL. Oh mengerikan, terjepit tidak karuan. Saya kagum dengan mereka yang harus bergelut seperti itu setiap hari.”
“Et dah, keretanya perlu diperbanyak,” ia menjawab dengan logat betawi yang kental.
“Iya, Pak. Rel keretanya pun makin terus ditambah di mana-mana sekarang oleh Pak Jokowi,” saya menimpali.
“Betul, Neng. Memang kita rakyat kecil makannya nasi, tidak makan kereta sama rel-relnya, tapi kan harus naik kereta dulu ke tempat kerja agar pulangnya bisa beli nasi. Masa ke tempat kerja ditiup pakai angin yah, Neng?” Bapak itu berkata sambil terkekeh.
Tak terasa sudah sampai di depan rumah. Saya turun dan menyerahkan selembar uang berwarna biru.
“Tidak usah kembali, untuk Bapak saja semua.”
Setelah mengucapkan terima kasih, ia pun berlalu tenggelam di kegelapan malam. Ungkapan bijaksana di balik kepolosannya terasa sejuk merambat ke hati, melebihi sejuknya angin malam yang menemani perjalanan syahdu saya malam itu.
“When you don’t invest in infrastructure, you are going to pay sooner or later.”
Mike Parker
October 23rd, 2018