“The ocean moves, yet it rewards those who wait with steady patience.”
Angin berembus pelan, membawa samar aroma laut hingga ke beranda tempat kami duduk di atas tebing batu. Perempuan itu meraba permukaan meja kayu, seakan sedang menyentuh kembali ingatan akan bentangan layar di halaman rumahnya.
“Jarumnya pasti besar sekali kalau harus menjahit layar sebesar itu secara manual,” saya berdecak kagum. “Iya,” ia tersenyum tipis, “benangnya pun sangat tebal, lebih menyerupai tali halus daripada benang biasa.”
Hening sejenak. Dalam bayangan saya, setiap jahitan yang ditempatkan dengan sabar bukan sekadar benang, melainkan doa yang disulam satu demi satu.
Pintalan doa agar layar tetap kuat, agar kapal dan semua yang berada di atasnya tetap terjaga hingga ke tempat tujuan.
Tampak terbayang kain putih besar terbentang di halaman yang dijaga agar tak tersentuh tanah, sementara jarum menembus beratnya kain perlahan. Jahitan demi jahitan menutup ruang dengan kesunyian yang menenangkan.
Tidak ada yang tergesa, karena layar bukan sekadar alat yang membuat kapal bergerak, melainkan jiwa yang menjaga arah dan keselamatan.Di sekitar kami, hanya suara dedaunan yang bergesekan tertiup angin.
Wajahnya menyimpan sosok ayahnya yang sabar, seakan masih hadir di situ. Dalam keheningan itu, seolah laut sendiri berucap bahwa kesabaran adalah kekuatan yang tetap berdiri teguh meski angin terus mengguncang.
“The ocean teaches that patience holds a quiet strength.”
Part 30.