“Learn to express what you are feeling, without agonizing over it. It is a life skill every bit as important as learning how to read.” Haemin Sunim
Pagi masih menyimpan sisa tenangnya saat saya melangkah perlahan meninggalkan trotoar itu dan menuju On Nut Station. Sophie sudah berlari kecil ke depan, mengejar bayangan dirinya sendiri di atas aspal yang hangat.
Saya membiarkannya, sementara langkah saya melambat saat mata saya menangkap sosok seorang perempuan tua yang duduk sendiri di bangku, tak jauh dari pintu masuk station. Ia mengenakan jacket jeans abu-abu yang tampak sedikit kebesaran untuk tubuhnya yang ramping.
Di sampingnya tergeletak tas jinjing hitam dengan resleting yang sedikit terbuka. Tangan kirinya menggenggam botol minum plastic yang sudah setengah kosong, sementara tangan kanannya memainkan tali tas dengan perlahan, seolah mengisi waktu dengan gerakan yang tak tergesa.
Saya berhenti sejenak, berdiri di bawah pohon kecil. Angin pagi mengusap rambutnya yang mulai beruban dan ia menengadah, menatap langit yang jernih. Tak ada senyum lebar, tak juga sorot sedih. Hanya tatapan tenang, seperti seseorang yang sedang bercakap pelan dengan pikirannya sendiri.
Tapi justru dari ketenangan itulah saya merasakan sesuatu yang utuh, sebuah kehadiran yang tidak sibuk menjelaskan, hanya hadir apa adanya. Saya melanjutkan langkah secara perlahan. Tak ada kata yang keluar, tapi ada yang mengendap di dada.
Bukan karena saya tahu kisahnya, tapi dari cara ia duduk dengan tenang dan tidak gelisah, sudah cukup menyampaikan sesuatu. Lalu saya teringat bahwa tidak semua perasaan perlu diurai dalam kata-kata.
Ada kalanya cukup duduk bersama dengan apa yang dirasa, tanpa mengusirnya dan tanpa perlu menjelaskannya secara panjang lebar. Cukup mengakuinya, lalu membiarkannya mengalir perlahan, seperti angin yang menyapa dedaunan dan pergi begitu saja.
“When you care for yourself first, the world will also find you worthy of care.” Haemin Sunim
Part 25.