“It was nationalism that Indonesia was established! Not the Javanese nationality, not the Sumatran nationality, not the Bornean nationality, Sulawesi, Bali or other, but the Indonesian nationality, that together became the foundation of one nationale staat (nation-state).”
Ir Soekarno, Presiden 1 Indonesia
Musim panas dengan sejuta pesonanya membingkai kota Baltimore saat itu. Tercium wangi segar dari daun-daun yang menghijau dan kuncup-kuncup bunga yang telah bermekaran dengan kesempurnaan warnanya.
Hamparan bunga petunias purple dan pink berpadu dengan orange segar dari bunga begonia terlihat makin vibrant di taman. Terlihat juga bunga peony pertanda jika musim semi telah mengucapkan selamat tinggal.
Kuntum bunga peony sangat besar dibandingkan bunga sekelilingnya. Warna merah maroon dan pink pucat berpadu dan berpilin menyatu. Benang sari didalamnya menambah indah bentuknya. Semerbak wanginya pun tercium saat saya melewati sambil melompat ke kiri dan ke kanan.
Di tengah indahnya semerbak kuntum bunga yang bermekaran di sekeliling, tetap ada yang beda dibandingkan saat saya tinggal di Inggris. Kegilaan penduduk Eropa terhadap sepak bola tidak saya rasakan auranya di sini.
Olahraga football yang mereka sebut soccer tidak terlalu populer dibandingkan American football. Maka tak heran world cup sepak bola yang sedang berlangsung saat itu tidak terasa sama sekali di Baltimore.
Saya sebenarnya bukanlah penggemar berat sepak bola, saya memihak di mana tim favorit saya berlaga. Namun, saya akhirnya netral karena dua pemain favorit saya yaitu Batigol (Gabriel Batistuta) dengan mata hijau emerald-nya dari Argentina dan Roberto Baggio dengan rambut curlynya dari Italia tidak merumput lagi dikarenakan sudah pensiun.
Saya mendukung kedua tim yang berlaga. Setiap gol, tak peduli tim dari negara manapun saya tetap bersorak bahagia yang kadang membuat Antonio, teman baru saya dari Italia, kesal.
Saat itu channel televisi untuk menonton siaran langsung tidak ada, jadi kami terpaksa menonton live streaming dari komputer kampus. Kami berdua selalu nobar dengan memakai headphone karena ruang komputer adalah silent room jadi bisa dibayangkan gaya kehebohan yang harus kami redam, jika tidak seluruh ruangan akan melotot ke kami.
Babak final mempertemukan Italy dengan France di stadion Olympia, Berlin. Dentuman lagu dari Shakira dengan lagunya Hips Dont Lie membuat suasana makin semarak. Wajah Antonio sangat pucat saat score seri 1-1 dan harus mengadu keberuntungan dengan adu penalti.
Akhirnya tim Italy menang, tanpa sadar Antonio langsung berteriak di tengah suasana ruangan yang hening. Matanya langsung berkaca-kaca dan saat lagu kebangsaan dinyanyikan, ia langsung meletakkan tangan kanan ke dada sambil berdiri dari kursi dan makin menitikkan air mata haru.
Saya yang biasanya mendukung kedua tim tanpa sadar ikut berdiri saat itu turut merasakan sakralnya momen tersebut. Saya bisa merasakan nuansa haru yang sangat dalam dan getaran yang memenuhi rongga dadanya sangat terpancar di wajahnya saat itu.
Antonio lalu menyeka air matanya dan berkata, “Oh I never cry like this before, this anthem song dan rasa bangga melihat negara saya menang semua bercampur aduk menjadi satu.”
Saya pun ikut menitikkan air mata, teringat semasa ikut menjadi suporter juga sewaktu di Inggris bersama para pelajar Indonesia lainnya. Seluruh pelajar dari penjuru the United Kingdom berombongan ke Birmingham untuk menonton final pertandingan badminton di mana tim Indonesia menjadi salah satu finalis.
Di momen seperti inilah bisa saya rasakan nasionalisme bisa mencapai titik terbaiknya dan bisa menyatukan semua perbedaan. Lagu Indonesia Raya rasanya saat itu getarannya mampu menembus ruang dan waktu dan menyelinap sampai ke dalam ruang hati saat mahakarya dari bapak WR Supratman yg aslinya diaransemen oleh komposer Belanda yaitu Jos Cleber berkumandang kala bendera Indonesia dikibarkan.
Apapun pandangan politik, agama, dan suku kami bersatu padu membela Indonesia. Momen tersebut mampu meluruhkan hati dan membuat kami diam sejenak, menghormati para atlet yang membela negara dan bersatu mendukung mereka.
Jayalah terus negeri tercintaku. Tanah lahirku. Tumpah darahku. Kebangsaanku. Kebanggaanku. Siapa kita? Indonesia. Gue? Indonesia banget.
#menyeka air mata haru
“Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!”
Ir Soekarno, Presiden 1 Indonesia
September 20th, 2018
More story about my life as a globe trotter