“The echo of kindness outlives the sound of payment.”
Boss itu menepuk-nepuk celananya yang berdebu sebelum mendekat, senyum tipis masih bertahan di wajahnya. Saya bertanya pelan bercampur senyum lega dan bahagia, “Biaya servicenya berapa, Pak?”
Ia menggeleng sambil tersenyum, tangannya bergerak ke kiri dan ke kanan untuk menolak, “Tidak usah, Bu. Cukup ganti filter olinya saja.” Ada ketulusan dalam ucapannya yang membuat saya terdiam, antara terharu dan sungkan.
Saya tetap mencoba menyodorkan lebih, sekadar tanda terima kasih untuk waktu dan tenaga yang sudah ia curahkan. Namun ia kembali menggeleng, menolak dengan halus dan hanya mengambil sesuai harga filter oli.
Akhirnya saya menyelipkan uang itu ke tangan salah satu staff yang sejak tadi bekerja cekatan dengan keringat masih menempel di pelipisnya. Raut wajah mereka berubah, campuran antara kaget dan syukur yang tulus.
Saat kami kembali ke mobil, ada rasa hangat yang sulit dijelaskan. Bukan hanya karena kendaraan siap melanjutkan perjalanan, tapi karena kebaikan sederhana itu hadir begitu jernih, tanpa hitung-hitungan.
Di perjalanan saya teringat bahwa tidak semua nilai bisa diukur dengan angka. Ada hal-hal yang tidak tertulis di nota atau kuitansi, melainkan hadir lewat sikap kecil yang meninggalkan bekas panjang di hati.
Kebaikan yang muncul tanpa pamrih itu sering kali lebih berharga dari apa pun, karena justru di situlah perjalanan mendapat makna yang tidak bisa dibeli.
“The truest value is often carried in a smile, not in a price tag.”
Part 37.