“Not all pauses are the same. Some come in the middle of the journey, offering the strength needed to continue.”
Dalam perjalanan kembali menuju Basel, matahari masih tinggi. Belum sore, tapi sengatnya mulai lunak, seperti jemari waktu yang perlahan membuka genggamannya. Kami memutuskan berhenti sejenak di sebuah booth kebab kecil tak jauh dari Narli Market.
Aroma daging panggang langsung memeluk udara, menggoda selera tanpa basa-basi. Tanpa banyak bicara, kami sepakat: our late lunch di bangku kayu di tepi jalan. Di tangan kami, gulungan kebab hangat meneteskan saus seolah tak mau kehilangan moment.
Michael menggigit rotinya, mengusap remah dari sudut mulutnya, lalu berkata, “Sarah, you know, it’s funny. If we’d eaten before all the shopping, the food probably wouldn’t taste as good. It seems like we only really enjoy things after the struggle, even if we’re still tired.”
Saya tersenyum, membiarkan rasa pedas dan gurih itu bercampur dengan panas siang yang mulai reda, sambil sesekali meringis karena rasa pedas seakan menarik lidah. Kami sudah berjalan cukup jauh dari menyusuri museum, taman, market, hingga kini… jeda yang manis di antara dua negara.
Michael terkekeh, menambahkan, “Yeah, and also halal. That makes it taste better, right?” Saya tertawa. “Of course. That’s the secret ingredient.” Dia melirik saya yang mulai kepedasan, mata menyipit, napas pelan-pelan teratur. “You okay?” tanyanya, separuh khawatir, separuh geli.
Saya mengangguk tegas. “I’m fine. Just… negotiating peace with the chili.” Michael tertawa. “Looks more like a surrender.” Saya meneguk air dan berkata lirih, “If I pass out, just say I held the line till the last drop of sauce.”
Tawa kami pecah, ringan seperti angin yang tahu ke mana harus berembus. Oh well, istirahat tak selalu harus menunggu akhir, kadang, jeda di tengah perjalanan justru memberi kita kekuatan untuk melangkah lagi.
“In the middle of our journey, we often find the pause that gives us the strength to move forward.”
Part 28.