“The tree knows: to reach higher, it must shed what no longer nourishes.”
Langit semakin cerah dari biru pucat ke semburat biru batu saphire. Burung parkeet hijau tak henti berkicau di udara. Arsyl tampak lebih tenang sekarang, bersandar di bangku kayu, memandangi dedaunan yang gugur perlahan di sekitar kami.
“Arsyl,” saya memulai dengan suara pelan, “lihat dedaunan itu. Mereka jatuh bukan karena pohonnya menyerah, tapi karena pohon itu tahu kapan waktunya melepaskan.”
Dia menoleh, alisnya terangkat. “Melepaskan?” Saya mengangguk sembari tersenyum kecil, menunjuk ke arah sebuah daun yang melayang turun, dihembus angin pagi.
“Melepaskan itu bukan tanda kekalahan tapi memberi ruang untuk sesuatu yang baru. Pohon itu paham, kalau dia terus memegang setiap daun yang mati, dia tidak akan pernah bisa menumbuhkan tunas yang segar.”
Arsyl terdiam, matanya mengikuti gerakan daun-daun yang melayang lembut hingga menyentuh tanah. “Tapi bagaimana kalau melepaskan itu menyakitkan?” suaranya terdengar ragu, seperti angin yang enggan untuk benar-benar pergi.
“Tentu saja menyakitkan,” menjawab dengan pandangan melembut. “Tapi tanpa rasa sakit itu, kita tidak akan pernah tahu apa artinya sembuh. Dan tanpa melepaskan, kita tidak akan pernah tahu apa yang bisa tumbuh selanjutnya.”
“Sarah, terima kasih, untuk kesekian kalinya kamu mau mendengarkan soal drama cinta saya yang tidak ada habisnya.” Arsyl tersenyum kecil, hampir tak terlihat, tapi ada kehangatan di sana, seperti pohon yang perlahan mulai menumbuhkan tunas barunya.
“Pain is the whisper of change, urging us to release the old and embrace what’s next.”
Part 7.