“Like the morning mist, pain may linger, but it will always fade when the light finds its way.”
Dalam kabut yang perlahan memudar di Whitworth Park, Arsyl tetap duduk membisu, pandangannya kosong menembus jarak. Dunia di sekitarnya terasa menjauh, seperti ia terdampar di tepian tanpa arah.
Dia menoleh perlahan, pandangannya mulai terisi dengan sesuatu yang berbeda, meski masih samar. “Tapi bagaimana jika rasanya tidak pernah hilang?” bisiknya, suara seraknya terdengar seperti angin yang meresap dalam keheningan pagi itu.
Saya menarik napas panjang, merasakan beratnya pertanyaan itu. ” Setiap rasa sakit yang kamu rasakan adalah bagian dari perjalanan. Seperti kabut ini, semuanya akan memudar. Yang tersisa hanyalah jalan yang harus kamu tempuh, langkah demi langkah. Mungkin perlahan, tapi pasti.”
Di sekeliling kami, kabut mulai mengangkat, memberi ruang bagi sinar matahari pagi yang lembut. Cahayanya menyentuh tanah, menciptakan bayangan indah di antara pohon-pohon yang mulai bangkit dari tidur panjang.
Saya tahu, luka Arsyl tidak akan hilang secepat itu. Namun, di balik setiap perasaan kosong dan suram, ada secercah harapan yang perlahan menyala, seperti matahari yang mengusir malam. Setiap perjalanan, bahkan yang paling berat, selalu dimulai dengan satu langkah.
Saya menatapnya dalam-dalam, berharap dia bisa merasakan kedamaian yang mulai menyentuh hati. “Dan ingat, Arsyl,” saya melanjutkan, “rasa sakit ini tidak akan sia-sia. Ini adalah cara Allah mempersiapkan ruang untuk sesuatu yang lebih baik.”
Saya dan Arsyl, sahabat dari Kazakhstan terdiam, membiarkan keheningan berbicara di antara kami. Di bawah naungan pohon yang kini tersentuh lembut oleh sinar mentari pagi, kabut perlahan memudar. Seperti kenangan kelam yang perlahan di lepaskan, memberi ruang bagi cahaya untuk tumbuh.
“Even when the way is shrouded, the sun waits beyond to guide us forward.”
Part 3.