“Food doesn’t need to be perfect, just sincere,and that’s what makes every bite unforgettable.”
Di dapur yang masih hangat oleh uap masakan, cahaya lampu menerangi lembut, memantulkan bayangan kami di permukaan meja kayu. Aroma rempah masih menggantung di udara, bercampur dengan tawa yang perlahan mereda, menyisakan keheningan yang tidak canggung, melainkan menenangkan.
Di luar, angin malam mengetuk jendela seakan ingin ikut mendengar kisah yang sedang kami bagi. Mentari dengan jejak warna lembayung yang tadinya terlihat dari jendela Toblerone house telah pamit, meninggalkan kerlipan bintang yang kini berpendar malu-malu di balik ranting-ranting musim dingin.
Arsyl mengaduk cangkir teanya perlahan, menatap ke luar jendela yang mulai berembun. “It’s funny… bagaimana sesuatu yang sederhana seperti memasak bisa membuat kita lebih terbuka,” gumamnya, suaranya nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri.
Hong menyandarkan sikunya di meja, tersenyum. Kacamatanya yang sedari tadi bertengger di hidung hampir jatuh, mungkin karena terlalu banyak tertawa mendengar lelucon kami. “Makanan punya cara tersendiri untuk membawa orang lebih dekat.”
Saya mengangguk, menyambung, “Mungkin karena memasak itu tentang memberi. Kita tidak hanya mencampurkan bahan, tapi juga berbagi bagian dari diri kita di dalamnya.”
Hong menatap kami berdua, “Itulah keajaiban makanan. Ia tidak menuntut kesempurnaan, hanya ketulusan.” Kami terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu meresap di antara aroma jahe dan bawang putih yang masih bertahan di udara.
Di sudut dapur, panci masih menyimpan kehangatan, seperti hati kami yang perlahan-lahan belajar bahwa bukan tentang siapa yang paling mahir, tapi tentang merasakan dan membiarkan diri terhubung, seutuhnya, seperti makanan yang selalu menemukan jalannya ke hati, tanpa perlu banyak kata.
“The essence of a meal isn’t in the recipe, but in the hands that prepare it and the hearts that share it.”
Part 4.