“When the road gets rough, a detour isn’t failure—it’s wisdom in motion”
Koper ungu itu masih berdiri di dekat pintu. Miring sedikit ke kiri, diam-diam mencuri perhatian. Rodanya tinggal satu, tapi tetap setia menemani, seperti sahabat lama yang meski pincang tetap bersedia berjalan jauh.
=====
Di hari terakhir tradeshow, Mbak Patsy menyeret kopernya keluar dari venue. Suara gesekannya yang serak, menambah riuh sore di Manila. Beberapa orang sempat menoleh, tapi Mbak Patsy hanya tertawa, “Lucu ya bunyinya, seperti sepatu yang satu hilang solnya.”
Kami memilih jalan memutar dengan route yang lebih panjang, tapi jalannya lebih mulus. Awalnya terasa merepotkan dan membingungkan. Dalam hati saya sempat bertanya, apakah ini jalan yang benar, atau sekadar putaran yang sia-sia?
Namun di tiap langkah pelan yang kami ambil, saya mulai melihat dengan cara lain. Ternyata jalan memutar itu bukan semata-mata karena terpaksa, tapi karena dibutuhkan. Kondisi saat itu tak lagi sempurna, maka arah pun harus menyesuaikan dan bukankah begitu juga cara hidup bekerja?
Sering kali, kita dipaksa mengambil arah yang tidak pernah kita rencanakan, bukan karena kita gagal, tapi karena yang kita bawa tak lagi sama. Ada bagian yang hilang dan untuk tetap bisa melaju, kita harus memilih jalur yang lebih lembut.
Saya menatap koper itu sekali lagi. Ia memang tak lagi utuh, tapi masih melaju. Bukan karena rodanya lengkap, tapi karena Mbak Patsy memilih untuk tetap menariknya dengan perlahan dan tanpa keluhan.
Justru dari jalan yang memutar, kita belajar bahwa perjalanan terbaik bukan tentang lurusnya route, tapi kemauan untuk terus melangkah, meski harus berbelok sedikit. Saat akhirnya sampai, kita bisa menoleh ke belakang dengan lega dan berkata dalam hati, “Untung waktu itu saya tidak menyerah.”
“A detour isn’t a wrong turn. It’s the path that lets us keep moving when what we carry starts to change.”
Part 50.