“It is hard to know things as they really are because when we hear something,
we rely on past experience to understand it.” Haemin Sunim
Mobil terus melaju menyusuri jalan menuju pantai Tanjung Bira di ujung selatan pulau Sulawesi, perjalanan untuk menemani Nigel dan Sophie diving, sementara Chloe memilih snorkeling.
Jaraknya dua ratus kilometer dari Makassar atau empat jam berkendara mobil dengan santai. Dari balik jendela, laut sesekali muncul di sela pepohonan, birunya seperti janji indah yang menunggu kami di ujung perjalanan.
Chloe menempelkan kening di kaca dan matanya mengikuti bayangan perahu nelayan yang melintas. Sophie tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaannya dan Nigel menikmati pemandangan pantai dengan wajah tenang.
Setiba di villa, pasir putih langsung menyambut langkah kami. Laut terbentang luas hanya beberapa langkah dari tempat menginap, seakan memanggil tanpa kata. Kami bergegas ke pantai hingga langit berubah warna menuju senja.
Di sebuah warung kecil di tepi pantai, kami menutup senja dengan tea hangat sembari membersihkan pasir yang masih menempel di kaki. Saat itu angin sore membawa aroma laut dan langit perlahan berganti berwarna keemasan.
Saya tersenyum melihat ekspresi Nigel, Chloe dan Sophie saat bergantian bercerita tentang apa yang mereka alami. Satu moment yang sama, tetapi setiap cerita datang dengan sudut pandang yang berbeda.
Saat itu saya mulai mengerti bahwa sebuah moment bisa menampakkan aneka warna meski sama-sama dilalui karena setiap orang memaknainya dengan cara berbeda dan justru di situlah keindahan utuhnya terasa.
“Ten people hearing the same story will each interpret it differently, since their individual histories lead them to focus on different aspects.” Haemin Sunim
Part 1.