“The world remains the same, yet the way we choose to see it transforms our journey.”
Saya masih duduk di tepi tempat tidur, membiarkan pandangan tertuju ke luar jendela. Malam merayap pelan, membungkus kota Manchester dalam kesunyian yang berpendar. Siluet gedung-gedung berdiri anggun dalam keheningan dan lampu-lampunya berkelip seperti bisikan lembut di tengah malam.
Perlahan, saya menyandarkan kepala ke dinding, membiarkan diri tenggelam dalam jeda yang jarang saya nikmati. Sejak hidup sendiri di negeri orang, saya mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda. Bukan karena segalanya berubah, melainkan karena saya sendiri yang kini lebih peka.
Jalanan yang dulu sekadar latar kini menjelma menjadi cerita, dan orang-orang yang berlalu bukan lagi bayangan tanpa makna, melainkan bagian dari kisah yang diam-diam berbisik di sela hiruk-pikuk kota.
Jauh dari Indonesia, justru hal-hal kecil yang dulu luput kini terasa lebih nyata. Denyut kota dari pagi hingga malam hingga percakapan singkat yang mungkin tak akan berulang, menyimpan pelajaran jika saya mau mencermati lebih dalam.
Mungkin, begitulah hidup sendiri di negeri orang mengajarkan yaitu bukan dengan membuat dunia terasa sepi, melainkan dengan membiarkan kita mendengar suara-suara yang selama ini luput serta merasakan kehadiran orang di sekitar yang selama ini hanya samar.
Hingga akhirnya, saya memahami bahwa hidup sendiri bukanlah kekosongan, melainkan ruang di mana makna-makna kecil menemukan tempatnya untuk berbicara. Di sanalah, pelajaran-pelajaran hidup terselip dalam hal-hal yang sederhana.
Ternyata bukan hanya jarak yang membuat seseorang bertumbuh, melainkan bagaimana ia menyelami setiap perjalanan dengan hati yang lebih peka, mata yang menangkap setiap detail, telinga yang merekam percakapan, dan jiwa yang meresapi makna di balik hal-hal sederhana.
“The real voyage of discovery consists not in seeking new landscapes, but in having new eyes.” — Marcel Proust
Part 23.
