“To grow is not to demand space, but to fill it softly, without needing to ask.”
Saat matahari mulai memanjangkan bayangnya, kehadiran bunga kudzu yang tenang masih tinggal dalam benak saya. Sophie sudah berpindah, perhatiannya kini tertuju pada seekor kupu-kupu yang menari di udara, geraknya ringan, nyaris seperti angin itu sendiri.
Saya mengamatinya sambil kami melanjutkan langkah menuju BITEC. Di tengah kesibukan pagi yang perlahan menggeliat, saya tersentuh oleh satu kesadaran sederhana bahwa hidup tidak perlu saling mendorong dan tidak harus saling mengambil ruang.
Saya kembali membayangkan bunga kudzu. Ia tak pernah mendesak tempat untuk menerima kehadirannya. Ia tidak mengejar cahaya, hanya mengikuti arah terang yang tersedia. Sedikit demi sedikit, pelan tapi pasti, tanpa gaduh dan tanpa menuntut apa-apa.
Angin pagi itu bertiup pelan, menyentuh kulit seperti bisikan, dan saya pun merasa, kadang yang paling wise bukanlah mereka yang berlari paling cepat, tapi yang memilih berjalan bersama waktu.
Langkah demi langkah, tanpa tergesa, seolah tahu bahwa keindahan tidak selalu lahir dari siapa yang tercepat. Bukan dalam mengejar kita benar-benar hadir, tapi dalam diam yang tak memaksa, hanya menemani.
Diam yang memberi ruang bagi dunia untuk mengungkapkan dirinya sendiri, perlahan. Seperti pagi yang tak terburu-buru menjadi siang dan seperti bunga kudzu yang mekar bukan karena ditunggu, tapi karena waktunya memang telah datang.
Saya kembali menatap Sophie. Tawanya melayang seperti lagu kecil di udara, dan saya pun sadar bahwa menjadi dewasa dalam berpikir bukan tentang mendorong segalanya agar cepat, tapi tentang perlahan menjadi diri sendiri, dan membiarkan irama hidup berjalan berdampingan.
“The sun never hurries, and still everything grows.”
Part 21.