“We may not realize it, but the smallest gestures often leave the deepest warmth.”
Riuh rendah pagi di kedai kopi ini terasa akrab, meski ini pertama kalinya saya menginjakkan kaki di sini. Seorang teman merekomendasikannya, katanya, kopitiam ini adalah yang tertua di Bandar Seri Begawan.
Saya menyesap tea tarik di hadapan, membiarkan hangatnya mengusir sisa kantuk yang masih melekat. Di sebelah, tiga wanita paruh baya berceloteh riang, tawa mereka membahana, berbaur dengan aroma coffee dan riuh suara pesanan yang terus mengalir dari dapur.
Tak lama, saya menggeser tas, memberi ruang bagi hidangan tambahan yang terus berdatangan. Salah satu dari mereka, berkerudung biru lembut, menoleh dengan senyum penuh canda. “Thanks for sharing the table with us. We were this close to having breakfast standing up,” katanya ringan.
Saya tersenyum kecil. “Kedai ini memang ramai sekali.” Wanita di seberang mengangguk dengan mata berbinar. “Pastinya. Kedai ini has been around since ummi saya masih muda.” “No, I think sejak nini kita masih muda,” satu lagi menimpali, disambut gelak tawa di antara mereka.
Obrolan mereka terus mengalir, membawa cerita dari masa ke masa, seakan pagi ini hanyalah kelanjutan dari pagi-pagi lain yang pernah mereka lalui di sini. Saya menatap ke luar jendela, melihat bayangan pohon yang bergoyang pelan di bawah cahaya matahari yang kian menghangat.
Hidup memang begitu, terkadang, hal kecil yang kita lakukan tanpa pikir panjang bisa menjadi sesuatu yang berarti bagi orang lain. Sebuah isyarat sederhana bahwa sekecil apa pun tindakan kita, mungkin saja menjadi pertolongan yang tak mereka duga.
Di pagi yang sederhana ini, di meja yang awalnya hanya milik saya seorang, kembali diingatkan bahwa kebaikan tak harus megah untuk memberi arti. Kadang, sesederhana menggeser tas atau berbagi meja, cukup untuk membuat dunia terasa lebih hangat.
“A small act, unnoticed by us, may become a quiet warmth in someone else’s day.”
Part 4.
