“We don’t need to understand a language to feel the care behind it.”
Saat kami hampir melangkah pergi, tiba-tiba, tubuh mungil dalam stroller itu menggeliat pelan. Kelopak matanya mengerjap, bibir kecilnya mulai mengerucut, dan suara tangis lirih mulai pecah, seperti seruling halus yang retak di tengah udara.
Sang ibu segera membungkuk, tangannya gemetar ringan saat mencoba menenangkan, mengelus wajah bayinya yang gelisah. Tapi si bayi mungil tetap merengek, tubuhnya menggeliat di bawah selimut tipis.
Saya memandangnya sebentar, lalu entah dari mana datangnya, saya mulai bersenandung, suara saya nyaris berbisik. “Nina bobo, oh nina bobo… kalau tidak bobo digigit nyamuk…” Lalu berhenti sejenak dan menoleh pada Michael sambil berbisik, “Oh wait… no mosquito here in Germany.”
Michael tertawa kecil. Saya lanjut lagi, mengubah liriknya sambil sesekali mengamati si bayi. “Kalau tidak bobo… masuk angin.” Kemudian tertawa kecil sendiri. “Oh right, mereka tidak punya istilah ‘masuk angin’ di sini …” bergumam pada diri sendiri.
Michael menyambung, “Then maybe…kalau tidak tidur, harus bantu kita revise thesis ?” Saya menahan tawa. “Kasihan sekali , masih bayi sudah punya tanggungan academic,” lalu melanjutkan senandung dengan versi paling aman, “Nina bobo… kalau tidak bobo… selimutnya terbang…”
Bayi itu kini mulai tenang, tangisnya mereda jadi isakan kecil. Matanya setengah terpejam, seperti sedang mendengarkan dengan penasaran. Sang ibu menatap saya, matanya berkaca tapi bibirnya tersenyum. “Ich kenne das Lied nicht… tapi nadanya… hangat sekali.”
Saya membalas senyumnya dan menjelaskan, “Das ist ein Wiegenlied aus Indonesien.” Wajahnya kini tampak lebih tenang. Kadang, sebuah lagu yang asing di telinga, namun dibalut sedikit humor, cukup untuk merajut ulang pagi yang semula riuh menjadi sesuatu yang bisa dikenang dengan senyuman.
“Comfort doesn’t always come from what’s familiar, but from what’s heartfelt.”
Part 16.